Gambir ke Pekalongan [1]

Senin, 06 Februari 2012 , 10:23:09 WIB
Gambir ke Pekalongan [1]
Di Stasiun Gambir ini kami menunggu sembari sarapan pagi. Tak lebih setengah jam, yang ditunggu telah datang. Ya, Kereta Api (KA) Argo Muria telah siap memberangkatkan kami ke tempat tujuan. Kami mendekat ke rangkaian gerbong yang panjang itu. Santai saja, tak perlu tergegas-gegasnya berjalan. Tak juga direpotkan banyaknya barang bawaan, karena sejak berangkat tadi saya menganggap perjalanan ini sebagai piknik saja, hitung-hitung demi mengesampingkan suasana rutinitas di Jakarta yang acap menjemukan.

Segera kami memperlihatkan tiket kepada petugas, kami menanyakan di mana letak gerbong dan tempat duduk kami? Sang petugas mengecek nomor gerbang sekaligus tempat duduk yang ada di tiket. Dia sigap menjawab dengan tangan menunjuk ke arah dua gerbong di belakang kereta. Segera kami menuju arah tangan sang petugas. Kami tiba di gerbong dan kursi No 11C dan 11D. Itulah tempat duduk kami. Saya pilih dekat jendela, sementara Farichin duduk di samping kiriku.

Pada tepat pukul 07.30 WIB, kereta jurusan Gambir-Tawang berangkat. Terasa sekali kereta bergerak, terlihat dari bergesernya posisi pilar dan dinding bangunan stasiun, yang tak lagi tenang. Dari jendela tempat duduk saya, perlahan kereta menjauh titik-titik di stasiun. Ini pratanda bahwa kereta telah melaju, bahkan hingga akhirnya bergerak dengan kencang sekali.

Hari ini saya pulang ke tanah leluhur, Kota Pekalongan. Keperluan saya adalah menghadiri selamatan wafatnya kedua orang tua saya. Sesuai tradisi di kampung saya, kehadiran saya turut mendoakan hari wafatnya orang yang telah meninggal (khaul). Kebetulan, waktu meninggalnya kedua orang tua berdekatan bulan meski berbeda tahun. Ibu dipanggil terlebih dahulu, menyusul empat tahun kemudian ayah saya. Sesuai tradisi warga nahdliyyin, sebagai anak, saya ikut pulang ke tanah leluhur ini. Untuk sama-sama keluarga, handai tolan, sanak kadang, dan para tetangga, berziarah ke makam kedua orang tua saya.

Moda transportasi ini memang yang paling saya suka, apalagi bila ke tanah kelahiran, Pekalongan. Selain tarifnya tak seberapa mahal dibanding dengan moda pesawat udara, pula waktu tempuh Jakarta-Pekalongan hanya lima jam perjalanan. Saya tahu bahwa dengan naik kereta, saya bisa membaca buku sepuasnya sembari menikmati hamparan pemandangan hijaunya persawahan.

Saya paling suka, di luar perjalanan ke Pekalongan ini, bila dari Jakarta berangkat ke Bandung, akan terpampang hijaunya alam sekitar kita, dari jendela kereta Argo Gedhe. Nah, perjalanan Jakarta-Pekalongan ini tak melulu pemandangan. Namun pula perkampungan, yang mencerminkan perikehidupan masyarakat di sepanjang rel kereta api yang kami lalui. Itu sungguh menajamkan daya sensivitas saya terhadap lingkungan. Soalnya pemandangan semacam itu muskil bisa dipampang di belantara beton Jakarta.

Oh, iya, selama perjalanan saya didampingi karib hidup-mati, Farichin. Ini untuk temen ngobrol saja, biar tak jenuh selama dalam perjalanan. Juga karena selama setahun terakhir ini dia tak selalu bisa bersama saya. Asyik nian ! *

Gambir-Pekalongan, 4 Februari 2012., 2 Februari 2012.