Pers, di Mana? [3]
Rabu, 28 Maret 2012 , 14:49:36 WIBDalam sejarahnya, pers merupakan pilar keempat dari demokrasi (fourth estate), dalam rakyat menerbitkan pikiran, pendapat, dan aspirasinya. Pilar ketiga lainnya apabila lumpuh, atau dilumpuhkan, maka pers-lah yang memainkan peran pentingnya. Tak usah pada saat lumpuh, pada waktu normal saja, pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif (yang dimaksud sebagai ketiga pilar lainnya itu), maka bahkan pers-lah yang menggeser perannya atau yang mengawasinya.
Sejak musim Pilkada disemai sejak 2005, lahirlah apa yang oleh Robert Dahl (2001) disebut sebagai “pluralitas politik” (political pluralism, variety). Dalam keadaan ini, entitas pers berada di wilayah yang lebih bebas tanpa tekanan, tak seperti dahulu. Namun pula masyarakat dihadapkan pada banyak pilihan. Pers tak lagi barang homogeny ketika dihadapkan orang untuk memilih membaca, namun beragam jenis, bentuk, dan alternatifnya. Dalam Pilkada, dari yang semula “local voice” ke“ local choice”. Hal ini karena dalam Pilkada, tergambar adanya “the availability of alternative and independent sources of information” (Dahl, 2001).
Dalam kaitan antara Pers dengan pengawas Pemilu erat adanya. Sebagai contoh, Panwaslu memandang pers adalah sebagai mitra dalam menjalankan fungsi-fungsi kontrol sosial. Pers di mata Panwaslu merupakan sumber informasi penting terutama informasi pelanggaran-pelanggaran. Bagi Panwaslu, informasi yang dimuat atau disiarkan pers merupakan petunjuk awal bagi penelusuran kasus yang ditangani. Di antara pers dan panwaslu, juga memiliki peran sebagai implementator partisipasi rakyat dan sesama penyuara kebenaran. Sama-sama pula memantau dan mengawasi tahapan pemilukada.
Maka saya menyambut baik hasil-hasil workshop dan seminar ini. Apalagi pertemuan yang digagas oleh Panwaslu Aceh dan Komunitas pers di Aceh ini menghasilkan semacam “komunike kerja bersama”, dalam mana para pihak, satu sama lain, akan saling membantu, share terkait dengan sejumlah informasi, turun ke lapangan bareng, membantu menginformasi dalam kaitan dengan pemilukada di Aceh ini. Termasuk pula hal-hal lain yang saling menguntungkan kedua belah pihak dalam rangka menjalankan profesinya masing-masing.
Bagi Panwaslu sendiri, apa yang menjadi kelemahannya sedikit banyak akan terbantu oleh pers. Seperti jumlah Panwaslu yang tak sebanding dengan area pengawasan. Ini bisa ditutupi dengan coverage area instrument media massa. Harapan orang kepada Panwaslu juga demikian besarnya, termasuk masyarakat, peserta Pemilu, dan pihak lain. Kerjasama ini juga bisa memupus sikap pragmatisme hukum dalam penanganan pelanggaran, dimana laku ini lebih mengutamakan pengamanan daripada penegakan hukum Pemilu. Padahal penegakan hukum diyakini menguatkan pengamanan. *
Banda Aceh, 21 Maret 2012