Mengurus e-KTP (1)

Kamis, 14 Juni 2012 , 13:43:27 WIB
Mengurus e-KTP (1)
Pada hari Ahad (10/6) ini aku mengikuti perekaman elektronik KTP atau e-KTP. Aku sudah berada di lokasi perekaman pukul 09.30 WIB. Tampak ratusan orang berjubel mendaftar. Kantor Kecamatan Tembalang, Semarang, itu penuh warga masyarakat. Usai aku menyerahkan surat undangan dan KTP lama, aku duduk di kursi panjang yang disediakan. Berbaur dengan para warga yang sejak pukul 07.00 WIB sudah pada datang.

Sejam kemudian aku undur diri. Karena aku pikir, kalau harus menunggu hingga empat jam hanya untuk nongkrong, aku pikir terlalu lama. Masih ada hal yang harus aku kerjakan. Akhirnya aku, istri, adik, dan anak, meninggalkan lokasi, untuk melanjutkan kegiatan hari ini: mengantar istri ke pasar tradisional di Peterongan, belanja bulanan. Itupun setelah kami mendengarkan informasi dari petugas kecamatan. Aku pekirakan usai dari pasar bisa langsung atau tak seberapa lama bakal dipanggil.

Sore hari usai belanja, kami balik lagi ke kantor kecamatan. Langsung aku tanya ke petugas. Ternyata namaku sudah dipanggil dua-tiga kali.  Apa boleh buat, aku harus menunggu. Dan aku minta ke istri, adik, dan anak, untuk pulang saja. Karena toh jarak rumahku dari kantor kecamatan tak terlalu jauh. Pulangnya bisa jalan kaki. Sejam aku menunggu. Kembali berbaur dengan anggota masyarakat. Dibanding pagi tadi, kali ini warga yang mengantre jauh lebih berkurang. Tinggal seratusan warga.

Aku mengenal beberapa petugas. Satu kawanku, kawan kuliah beda angkatan dan jurusan, dan seorang lagi kawan lintas jalur sewaktu kuliah. Seorang lagi mahasiswaku di Fisip Undip, Semarang. Kesempatan ini sebenarnya bisa aku manfaatkan untuk meminta bantuan ke mereka. Bisa minta tolong untuk didahulukan. Tapi aku tak mau lakukan itu. Ikuti saja prosedur semestinya, seperti warga lain yang juga sabar menunggu panggilan dari petugas.

Bagiku, apa yang melekat pada diri kita tak seharusnya dipergunakan untuk meraih kemudahan-kemudahan yang tak perlu. Aku pikir, aku harus menjadi suri teladan bagi yang lain. Di sebelah kanan dan kiriku duduk di meja tunggu, sejumlah warga mengenalku. Karena beberapa kali aku bersama mereka ikut pertemuan bulanan di RT. Kata mereka, aku orangnya egaliter. "Kenapa Pak Nur gak minta masuk duluan?", tanya mereka. Aku jawab, aku kan warga biasa di sini. Tak perlu menggunakan hubungan baik hanya untuk menyamankan diriku sendiri. Begitulah. *

Semarang, 10 Juni 2012