Pasar Peterongan
Kamis, 14 Juni 2012 , 13:47:04 WIB
Ingin jadi suami yang baik. Hari ini, di
sela-sela mengurus e-KTP, aku bisa mengantar istri ke pasar. Soalnya
jarang-jarang bisa temani istri pergi, apalagi belanja ke pasar
tradisional. Ini karena aku lebih sering berada di Tanah Betawi. Ini
Pasar Peterongan, Semarang, belanja kebutuhan bulanan. Dan sejak awal
kami memang sepakat dengan istri. Lebih mengutamakan pasar tradisional
daripada mal. Itung-itung membantu pedagang kecil.
Khas ibu-ibu, kalau belanja istri memang lama. Bagi aku sih memang sangat lama. Bisa tiga-empat jam. Kalau sudah begini, biasanya, aku lebih memilih menunggu di Gramedia Java Supermall. Tapi kali ini parkir di mal itu sangat penuh. Akhirnya aku nongkrong saja di sekitar pasar tersebut. Berbaur dengan warga kebanyakan. Ngobrol dengan makelar emas, pedagang mainan anak-anak, lihat-lihat CD MP3, yang kebanyakan bajakan itu. Atau Pak Polisi lusuh di emperan pertokoan sekitar pasar Peterongan.
Seorang pedagang menarik perhatianku. Dia asli Demak, sudah hampir sepuluhan tahun mangkal di emperan toko-toko di seputaran pasar Peterongan ini. Namanya Pak Agung. Setiap hari dia pulang pergi dari Demak ke Semarang. Barang dagangan dititipkan ke sebuah rumah yang disewa bersama pedagang lain yang sedaerahnya. Tapi kalau kondisi cape, dia tidur di kos-kosan tersebut.
Profesi sebenarnya dari Pak Agung adalah petani garapan, alias buruh tani. Hanya saja kalau lagi tak bersawah, baru dia ke Semarang menjajakan mainan anak-anak. Dari yang dilakoninya, dia berhasil menghidupi anak dan istrinya. Dia bersyukur karena itu. Gak ketulungan katanya. Dari hasil yang didapat, baik dari sawah maupun dari pasar, sedikit demi sedikit ditabungnya. Begitulah cara Pak Agung mengartikan tanggung jawabnya, sebagai ayah dari anak-anaknya dan suami dari istinya.
Sejurus dia membuka bungkusan. Dia menyilakan aku makan siang. Tentu aku menolaknya. Lalu dibukanya botol lusuh, bekas botol plastik dari air kemasan merek terkenal. Di dalamnya warna coklat, ya itu teh yang dibawanya dari rumah. Ditenggaknya sedikit air teh. Tampak kerongkongan terbasahi. Sebungkus nasi separoh amblas. Dan sejurus kemudian, datanglah seorang anak mendekati ke lapaknya. Dia berhenti santap siangnya. Anak ini merengek minta otok-otok. Uang berpindah ke tangan Pak Agung. Dan otok-otok sejurus kemudian berpindah ke sang anak. *
Semarang, 10 Juni 2012
Khas ibu-ibu, kalau belanja istri memang lama. Bagi aku sih memang sangat lama. Bisa tiga-empat jam. Kalau sudah begini, biasanya, aku lebih memilih menunggu di Gramedia Java Supermall. Tapi kali ini parkir di mal itu sangat penuh. Akhirnya aku nongkrong saja di sekitar pasar tersebut. Berbaur dengan warga kebanyakan. Ngobrol dengan makelar emas, pedagang mainan anak-anak, lihat-lihat CD MP3, yang kebanyakan bajakan itu. Atau Pak Polisi lusuh di emperan pertokoan sekitar pasar Peterongan.
Seorang pedagang menarik perhatianku. Dia asli Demak, sudah hampir sepuluhan tahun mangkal di emperan toko-toko di seputaran pasar Peterongan ini. Namanya Pak Agung. Setiap hari dia pulang pergi dari Demak ke Semarang. Barang dagangan dititipkan ke sebuah rumah yang disewa bersama pedagang lain yang sedaerahnya. Tapi kalau kondisi cape, dia tidur di kos-kosan tersebut.
Profesi sebenarnya dari Pak Agung adalah petani garapan, alias buruh tani. Hanya saja kalau lagi tak bersawah, baru dia ke Semarang menjajakan mainan anak-anak. Dari yang dilakoninya, dia berhasil menghidupi anak dan istrinya. Dia bersyukur karena itu. Gak ketulungan katanya. Dari hasil yang didapat, baik dari sawah maupun dari pasar, sedikit demi sedikit ditabungnya. Begitulah cara Pak Agung mengartikan tanggung jawabnya, sebagai ayah dari anak-anaknya dan suami dari istinya.
Sejurus dia membuka bungkusan. Dia menyilakan aku makan siang. Tentu aku menolaknya. Lalu dibukanya botol lusuh, bekas botol plastik dari air kemasan merek terkenal. Di dalamnya warna coklat, ya itu teh yang dibawanya dari rumah. Ditenggaknya sedikit air teh. Tampak kerongkongan terbasahi. Sebungkus nasi separoh amblas. Dan sejurus kemudian, datanglah seorang anak mendekati ke lapaknya. Dia berhenti santap siangnya. Anak ini merengek minta otok-otok. Uang berpindah ke tangan Pak Agung. Dan otok-otok sejurus kemudian berpindah ke sang anak. *
Semarang, 10 Juni 2012