Media: Suara Merdeka
Hari/Tgl: Selasa, 07 Agustus 2007
Oleh: Nur Hidayat Sardini
SUKA cita menyambut terbitnya Putusan MK No 5/PUU-V/ 2007 per 23 Juli 2007, mungkin akan segera berganti muram. Pasalnya, selain kelima KPU Provinsi yang tak lama lagi akan menggelar pilkada ogah menindaklanjutinya karena ětakut masuk penjara?, juga karena Pemerintah dan DPR RI (elite politik) bersepakat revisi UU No 32/2004 baru akan dituntaskan di awal 2008.
Sikap KPUD amat jelas. Mereka ingin cari aman, dan tak hendak disalahkan di belakang hari. Maklum, selama ini mereka sering dijadikan korban persangkaan dari mereka yang sebenarnya kalah dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada), namun paling enak bila mengkompensasi kekalahannya dengan menunjuk hidung anggota KPU(D).
Alamat kesalahan KPUD bisa berangkat dari kurangnya sosialisasi, kurang becusnya mengurus daftar pemilih, atau kesalahan dalam menghitung. Secara teoritis, putusan MK dapat langsung dijalankan. Paling tidak bila mengikuti alur logika putusan, juga bila disimak dari risalah pembahasan persidangan-persidangan MK.
Namun, paling tidak di mata KPU dan KPUD, putusan itu pula tidak memberi imperasi hukum yang operationable. Tuntutan ini tidak dapat dijalankan bagi akomodasi kandidasi perseorangan, sehingga langsung dapat dikerjakan oleh KPUD. Di mata mereka putusan itu (masih) diragukan bisa menutup kekosongan hukum ósebagaimana dapat disimak dalam bagian konsideran Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 ini.
Artinya, meskipun putusan itu sudah memuat perintah kepada penyusun UU (pemerintah dan DPR RI) serta KPU dengan Keputusan KPU, itu tidak cukup bagi penyelenggara Pemilu untuk bekerja.
Dan, itu merupakan kesulitan bagi penyelenggara Pemilu. Wajar bila KPUD berontak dengan putusan itu.
Pemberontakan itu bermuatan ?politis?. Mereka ingin menekan Pemerintah dan DPR RI (elite politik) agar segera menerbitkan peraturan perundang-undangan. Sepenglihatan mereka, elite politik telah memperlihatkan gelagat yang justru tidak memastikan.
Sekali lagi, jarak sejak diputuskannya putusan Juli 2007 hingga kelak awal 2008, adalah hari-hari panjang bagi mereka demi berhadapan dengan pemangku syahwat politik di daerah-daerah yang sedang bergelora di antara mereka yang sejak lama bermaksud melakukan kandidasi di luar Partai Politik (Parpol).
Maka di mata KPUD lebih baik ditunda saja daripada mesti menjalankan Pilkada tak berpayung hukum yang memastikan (measurable).
Elite Politik
Bola ada di tangan elite politik kita. Agaknya mereka enggan bergerak cepat, tepat, dan memastikan. Simak saja bagaimana reaksi para politisi kita atas diterbitkannya putusan yang membuka peluang bagi kandidasi perorangan dalam Pilkada tersebut?
Sebagian besar resisten, sebagian lainnya reaksioner, serta sebagian yang lainnya, yang jumlahnya paling kecil, sedikit legowo dan proporsional. Padahal, putusan itu sebenarnya belum tentu merugikan posisi politik segenap elite politik kita.
Yang gampang ditebak, elite politik kita tak hendak berkelindang dengan persoalan hukum yang pada akhirnya akan merugikan dominasi mereka dalam jagat politik di tanah air.
Karena dengan dimungkinkannya kandidasi perseorangan, orbitrasi kekuasaan politik tidak lagi dipegang partai politik. Area permainan politik di tingkat lokal dapat memendar. Parpol bukan lagi sumbu kekuasaan utama, seperti yang selama ini berlaku, yang sering dengan seenaknya dapat mendefinisikan kekuasaan kandidasi menurut ketentuan-ketentuannya.
Meminjam pengertian dari Reuven Y Hazan dalam Candidate Selection (Lawrence LeDuce, 2002), proses kandidasi perseorangan akan mendorong terjadinya inklusivikasi politik di tingkat lokal, serta sebaliknya menutup eksklusivikasi politik di bawah partai politik.
Dalam konteks ini, beberapa peran parpol akan diduplikasi oleh fungsi-fungsi politik aktor-aktor politik perorangan, yang boleh jadi akan jauh lebih baik karena langsung menuju pada jalan ke luar; sementara bila melalui jalur parpol : panjang birokrasi dan belum tentu menjamin sebagaimana yang diinginkan.
Putusan itu membuka pengertian politik itu tidak identik dengan partai politik. Politik pun dapat ditempuh melalui pelembagaan-pelembagaan yang dibangun atas kerja keras.
Dengan cara ini, putusan ini memberi peluang bagi orang-orang terbaik untuk memimpin daerahnya. Para pemangku kepentingan di daerah terbuka peluangnya untuk menyorong mereka yang dinilai memiliki kualitas, integritas, kapasitas, dan seterusnya, untuk menjadi kepala daerah.
Sudah saatnya demokrasi dapat dijadikan instrumen demi meningkatkan kebaikan bersama. Dan, itu tidak mesti dimonopoli partai politikóseperti yang selama ini berlaku !
Namun, ini pendapat positif dari parpol, tanpa disadari putusan ini dapat mengurangi keberhasilan institusionalisasi politik yang selama sepuluh tahun terakhir, sejak reformasi bergulir, berhasil dibangun oleh aktivis parpol.
Parpol sudah sangat berkeringat dalam membangun demokrasi. Berkat kerja kerasnya, dengan segala kerendahan hati mereka, aktivis parpol berhasil mengelola pendapat rakyat, memilih kader-kader terbaiknya untuk disumbangkan bagi bangsa dan negara.
Oleh karena itu, bila kandidasi perseorangan dimungkinkan, maka adalah kerusakan hingga pada derajat yang bahkan lazim disebut memorak-morandakan bangunan pelembagaan baru demokrasi di Indonesia, yang berbasis di partai politik. Itulah yang tidak disetujui parpol kita.
Kandisasi perseorangan merusak pelembagaan politik. Dalam pelembagaan politik, peran parpol harus ditempatkan sebagai bagian dari demokrasi yang signifikan.
Kita gerah memang ada parpol yang memang tidak jelas, namun sebagian lainnya parpol di negeri ini juga baik dan layak untuk diberi kesempatan mengembangkan dirinya sehingga kian memantapkan dirinya sebagai wahana institusionalisasi politik yang berarti bagi rakyat.
Pelembagaan politik yang berbasis pada parpol, terkadang dengan segala negatifnya pula, jauh lebih terkontrol daripada pelembagaan ad hoc dari kelompok-kelompok partikelir.
Terkontrolnya parpol dapat dilihat dari gugatan kita akan ikhwal alamat pertanggungjawaban, juga dapat eksistensi dan koeksistensinya yang baik. Pada kadar paling sederhana, kita jauh lebih mudah menggugat aktivitas parpol daripada ípihak partikelirí dalam berpolitik.
Perpu Realistis
Korban ditundanya jadwal pilkada oleh KPUD adalah makin terrancamnya agenda politik nasional bernama Pemilu 2009. Hal yang sama bila terbitnya hasil revisi (UU No 32/ 2004) baru dirilis di awal tahun 2008, juga sama saja dengan melarut-larutkan keadaan óberakibat tertundanya pula persiapan Pemilu 2009.
Jadi, kedua-duanya akan mengancam Pemilu 2009. Apalagi kita tahu persiapan Pemilu 2009, dengan adanya pilkada di lima provinsi itu juga menyangkut rekruitmen anggota KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota setempat.
Dengan kata lain, terdapat pertimbangan teknis yang berakibat fatal pada substansi dalam kandisasi perseorangan yang sedang dirisaukan kelima KPUD.
Sebaliknya, ada pertimbangan kepentingan substansi politik bernama pelembagaan yang berbasis teknis yang sedang dirisaukan para aktivis Parpol kita. Namun, korban keduanya adalah inklusivikasi politik rakyat, yang berhasil dibuka oleh Putusan MK terakhir itu.
Seharusnya ada jalan yang lebih baik. Jalan itu beralamatkan: kepastian hukum didapat, jadwal Pilkada tidak tertunda, sementara Putusan MK dapat segera diundangkan, sehingga tercipta inklusivikasi politik rakyat.
Pemerintah bersama DPR RI bersepakat untuk merevisi secara (terbatas) UU No 32/2004, yang diperkirakan baru akan selesai per awal 2008.
Instrumen untuk itu adalah perlunya perpu. Bunyi perpu tidak perlu membongkar batang tubuh UU No 32/2004, karena cukup dua pasal saja. Contohnya: ?(1) Untuk mengajukan diri dalam pencalonan perseorangan sebagai gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, pasangan calon/wakil calon mememiliki dukungan sekurang-kurangnya 3 (tiga) persen di sekurang-kurangnya di 50 (lima puluh) daerah administrasi pemerintahan setingkat provinsi, kabupaten/wali kota dari jumlah penduduk?; dan ? (2) Perihal ketentuan, tata cara, serta ketentuan lainnya selanjutnya diatur melalu Keputusan KPU Provinsi?.
Kira-kira begitulah. Agar bisa dijalankan secara baik, ada baiknya bila Pemerintah, DPR RI, dan KPU duduk bersama untuk merumuskan Perpu yang paling baik dan dapat dilaksanakan di lapangan. Juga tidak justru mengebiri Putusan MK itu. Kalau sampai terkebiri, jadilah pembajakan oleh elite politik kita.(77)
-
Penulis adalah Sekretaris Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, staf pengajar Fisip Undip.