Ujaran Kebaikan, Ujaran Kebencian, dan Shoft Plagiarism
Minggu, 02 April 2017 , 19:01:00 WIB
Aku turut menjadi anggota di lebih dua kodi grup WhatsApp (WA). Banyak faidah yang bisa kupetik, dari keikutsertaan tersebut. Selain memeroleh luberan dampak positif, karena misalnya tetap tersambungnya tali silaturahmi dengan banyak kalangan, baik kerabat kerja maupun kerabat lama dari banyak latar belakang, juga tak dimungkiri berolehnya dampak positif dari keikutsertaan tersebut.
Paling pusing bila saat aku harus menghapus pesan-pesan sampah. Ada konten ujaran kebencian, ada ujaran kebaikan, namun tidak sedikit terserapnya konten pornografi. Lebih jengkel bila konten itu diulang-ulang, meme yang itu-itu jua, kadang konten vulgar norak yang tak disuka. Bila dihadapkan pada keadaan seperti itu, ingin rasanya ke luar dari grup. Tapi pertimbangan jalin persabahatan, mendorong urung niat ke luar dari grup.
Dari sekian grup yang kumaksud, hanya satu dan dua yang memang positif dan aku suka mengikutinya. Satu di antaranya dari kaum progresif di KAHMI/HMI, dan satunya lagi grup “anak muda intelektual.” Di keduanya aku kadang pasif saja, kendati nimbrung bila ingin turut udar gagasan. Setelah mengikuti sekian grup WA, aku punya simpulan: corak norak dan corak positifnya grup, tergantung latar maksud grup itu dibuat, dan karakter orang-orang di dalamnya.
Sebagai orang yang terbiasa di lingkungan yang menghargai karya orang lain, aku kadang risi menyaksikan sejumlah anggota grup yang paling hobi mengutip salin (copy paste) konten informasi, tanpa merasa perlu menyebut sumbernya. Ironisnya, sebagian di antara mereka itu punya latar dan derajat akademik lumayan. Sebagian mereka kadang masih sempat menyebut sumbernya, cukup dengan: kopas (copy paste) dari grup sebelah, tetangga samping, atau sekadar lewat, dan seterusnya. Sekali lagi tanpa risi, tanpa sensi, dan sepertinya dianggap hal yang biasa saja.
Berinteraksi di sebuah grup WA, yang aku bayangkan, justru untuk menebar gagasan dan kebaikan. Sayang sekali, bila aktif di grup tidak berbanding lurus dengan interaksi-interaksi positif, mencerdaskan, atau inspiratif. Sayangnya, dari orang berakademik tinggi itu, sebagian di antaranya bahkan tak pernah mengunggah gagasan orisionalitasnya, hatta sepatah dua patah kata, sehingga untuk yang membacanya: terinformasi dengan baik, dan tercerdaskan. Di soal ini, kita perlu mengonfirmasikannya ke dunia karya, atau di dunia keseharian mereka.
Dunia akademik menghargai karya orang lain, sesepele apapun karya itu, kita perlu menyebut sumbernya. Bila berbanding terbalik, berarti kita sedang mengampanyekan suatu kebiasaan bahwa, plagiarisme sedang digalakkan. Kita tak perlu harus menjunjung etika di dunia karya? Wah, kita tengah membiasakan shoft plagiarism di keseharian kita. • Sumber gambar: bisnisukm.com, 1 Nov 2012.