Tantangan Perkawinan Pemilu

Senin, 03 April 2017 , 01:05:00 WIB
Tantangan Perkawinan Pemilu

Apa yang kita perlukan dari fit and proper test tersebut? Adalah dihasilkannya sosok-sosok penyelenggara Pemilu yang seideal mungkin, sehingga kelak berhasil menggelar Pemilu sejak perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya; yang tidak saja berhasil secara minimum, namun tentu saja maksimum, dari yang paling mungkin dilakukan. Bila melihat materi kemampuan, saya optimis garis ideal tersebut dapat dilampaui. Sederhana saja, karena mereka adalah produk seleksi dengan (semoga) kapasitas dan integritasnya yang terandalkan.

Sosok-sosok ideal yang bagaimana yang kita inginkan? Untuk menjawab hal tersebut, kita harus paham dulu kebutuhan Pemilu kita, dan untuk menjawab ini pun kita harus paham ada apa dengan Pemilu tahun 2019, yakni Pemilu yang akan dilaksanakan oleh para calon penyelenggara Pemilu, yang akan diuji dan dilayakkan oleh Komisi II DPR RI? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita teropong Pemilu tahun 2019.

Pemilu tahun 2019 adalah “Pemilu perkawinan Pemilu legislatif dan Pemilu presiden dan wakil presiden.” Dalam Pemilu tersebut, banyak implikasi dan konsekuensi di dalamnya. Saya perkirakan, Pemilu tahun itu cukup rumit. Kerumitan pertama, konsekuensi penganggaran, dengan kebutuhan logistik yang tidak sedikit, juga distribusi logistiknya yang juga lebih rumit.

Di Pemilukada tahun 2017, misalnya, di daerah otonom kita yang terluar, yakni di Kabupaten Kepulauan Sangihe, mengalami keterlambatan distribusi perlengkapan Pemilu, akibat cuaca yang kurang bersahabat; padahal karakter alam semacam Sangihe bukan satu-satunya, namun terdapat di setidaknya 80 (delapan puluh) titik dengan kerawanan semacam.

Karena secara objektif pun, geografi alam Indonesia, tidak melulu urusan klimatologi, namun juga luasnya wilayah, dan hamparan perairan dan pegunungan semacam karakter alam Papua, yang kadang menghalangi untuk waktu 24 (duapuluh empat) jam ditempus dengan sarana dan prasarana konvensional. Dengan kenyataan-kenyataan objektif seperti luasnya wilayah, kenampakan alam, dan plus faktor klimatologi dimaksud, mengharuskan dimilikinya kemampuan dalam kualita perencanaan (Quality of planning).

Secara subjektif, perkawinan dua Pemilu mengharuskan penyelenggara Pemilu memiliki kemampuan teknik elektoral yang memadai. Dari persidangan-persidangan DKPP terungkap fakta, Pemilu legislatif tahun 2014 dijumpai kinerja para petugas dari badan penyelenggara Pemilu adhoc, terutama di TPS hingga PPS, menghasilkan karya form C1 yang "semrawut."

Kendati bukan gambaran seluruhnya, namun demikianlah angka-angka termodifikasi sedemikian rupa, sehingga memerlihatkan kesengajaan di satu sisi, namun pertanda kekurangpahaman mereka dalam mengisi form tersebut di sisi yang lain, dan cukup menyumbang tercapainya integritas penyelenggara Pemilu.

Inovasi Situng KPU cukup mengurangi terhadap praktik-praktik Pemilu curang (election fraud cases), namun karena konsekuensi teknik dalam Pemilu tahun 2019 sering diperkirakan jauh lebih rumit, pada Pemilu tahun 2019 hal demikian menuntut kemampuan para pemangku keputusan Pemilu di tingkat puncak untuk memodifikasi dalam bagian-bagian tertentu di dalamnya.

Gambaran di atas sekadar menyibak prakiraan mengenai Pemilu tahun 2019. Sisi-sisi lain masih juga berserak, dan memerlukan kajian lebih lanjut bahkan perlunya simulasi dengan mengangkat sejumlah indikator lain.

Lalu apa yang kita harapkan dari sosok-sosok yang kelak menjadi pengambil keputusan di KPU dan Bawaslu? Pertama-tama, seorang penyelenggara Pemilu adalah mereka yang mengusai teknik administrasi Pemilu (anggota KPU) dan teknik pengawasan Pemilu (Bawaslu). Problem Pemilu kita tidak lagi melulu persoalan konsep besar mengenai demokrasi elektoral, namun bagaimana menerjemahkan konsep besar demokrasi elektoral, ke dalam tautan-tautan teknik belaka.

Bagian terbesar dari Pemilu kita adalah kualitas teknik pelayanan, teknik dasar elektoral di TPS dan jenjang berikutnya, dan kualitas teknik dalam menghadapi besarnya tuntutan pemilih, peserta Pemilu, dan sistem penegakan hukum elektoral, dan ruang lingkup teknik di dalamnya.

Kedua, dalam bagian lain, secara sistem Pemilu dan ini masih digodok oleh pembentuk undang-undang dalam Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu, adalah menerjemahkan ke tingkat teknik mengenai besaran daerah pemilihan (district magnitude), model pencalonan (nomination), model penyuaraan (balloting), dan formula pemilihan (electoral formula).

Adalah kerumitan tersendiri apabila kelak administrator utama Pemilu KPU menerjemahkan ke dalam teknik-teknik dan harus dipahamkan kepada seluruh jajaran di bawahnya, dan dengan itu memiliki visi yang sama sebagaimana keharusan prima untuk menjalankannya. Bagaimana pula Bawaslu dengan empat segi tersebut mampu membahasakannya ke dalam teknik pengawasan dan karena itu kewajiban untuk memahamkan jajarannya. Ingat bahwa calon KPU dan Bawaslu adalah perancangan keputusan (policy makers)—kelak jadi pedoman bekerjanya jajaran, dalam fungsi yang oleh George Terry dirumuskan sebagai pemangkuan fungsi-fungsi: planning, organizing, actuating, and controlling.

Ketiga, di luar faktor-faktor elektoral, Pemilu tahun 2019 adalah Pemilu yang sebagian besar para aktor-aktor politik yang kelak bermain adalah “selapisan generasi baru” dalam struktur dan kultur (baru) kita. Sebagian besar para aktor politik kita, yang berpotensi jadi legislator dan pemangku jabatan presiden dan wakil presiden kelak, juga para pelaku di provinsi dan kabupaten/kota, adalah mereka-mereka yang berpolitik pada era kebaruan politik kita.

Rumusnya mungkin begini: yang tua segera meninggalkan gelanggang politik, yang muda menggantikan yang tua. Dan jangan lupa, setiap tumbuhnya generasi baru, berbanding lurus dengan tuntutan-tuntutan baru. Saya pikir, Pemilu tahun 2019 adalah masa transisi dari “generasi x” ke “generasi Y”, yakni sementara kultur baru belum terbentuk, dan kultur lama belum hilang dari dari praktik politik kita.

Apa relevansinya dengan penyelenggara Pemilu? Adalah sangat mungkin akan terjadi anomali-anomali politik di sekitar antara tahun 2018 hingga tahun 2022. Dan biasanya, di antara kultur dan lama dimediasi oleh kultur panca roba, turbulensi politik bakal menyeret-nyeret mereka yang tak paham ke dalam pusaran besar. Dan, ini adalah tantangan penegakan dan penjagaan kode etik penyelenggara Pemilu.

Lihatlah belakangan ini. Para pemodal besar makin nyata muncul dalam kancah-kancah permainan politik, selain Indonesia mutakhir adalah bagian dari penetrasi kumparan globalisasi dan mondial. Pemilukada kita berbiaya, dan pembiayaan sebagian di antaranya dengan “mengijonkan” kebijakan melalui pintu masuk Pemilu lokal. Dan, Pemilu adalah even paling mudah untuk menancapkan investasi ekonomi yang gampang dibaca sebagai investasi politik; karena Pemilu adalah momentum terbuka dari mekanisme sirkulasi kekuasaan yang paling nyata.

Kendati tak harus mengetahui secara detil bakal datangnya masa-masa itu, namun visi seorang penyelenggara Pemilu tak boleh mengabaikan—tapi memestikan untuk mengetahui dan memahami—faktor-faktor non-elektoral, karena kemungkinan pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi elektoralitas yang dikelolanya. • Selamat ber-fit and proper test!