Pemilu Serentak Tahun 2019 : Potensi Ancaman Integritas Pemilu Tahun 2019 DR. Nur Hidayat Sardini
Jum'at, 17 November 2017 , 07:13:00 WIB
Pendahuluan
Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2013 memutuskan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019 digelar dalam sekali waktu atau serentak. Penyerentakan Pemilu tahun 2019 ini akan menjadi pengalaman baru dalam sejarah demokrasi elektoral. Namun demikian, sebelumnya Indonesia telah memiliki pengalaman Pemilu serentak yakni di tahun 2014, ketika Pemilu Legislatif dan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2014 digelar bersamaan.
Pemilu serentak tahun 2019 memiliki dampak positif antara lain tercapainya efisiensi anggaran terutama pos honorarium petugas badan adhoc Pemilu, sekaligus mengundang konsekuensi, implikasi, dan kerumitan-kerumitan tersendiri—yang apabila tidak diantisipasi secara cermat, terukur, kualitas perencanaan, dan memperbanyak frekuensi simulasi teknik penyelenggaraan Pemilu, akan berubah menjadi dampak-dampak negatif.
Misalnya, Pemilu Legislatif digambarkan memiliki kerumitan-kerumitan sendiri, baik dari segi pengaturan, ukuran/volume, teknik pelaksanaan, maupun relasi dan interelasinya dengan faktor-faktor subjektif dan objektif keaktoran. Dengan “perkawinan” dua Pemilu yakni Pilpres dan Pileg, kerumitan pun menjadi berganda.
Problematika Pemilu sejak Pemilu tahun 1999 antara lain: Pertama, sistem Pemilu yang meliputi kerangka besaran Daerah Pemilihan (District magnitude), pola pencalonan (Nomination), penyuaraan (Balloting) dan Formula Pemilu (Electoral formula) serta implikasi-implikasi di dalamnya, karena mempengaruhi dinamika sirkulasi kekuasaan di Indonesia. Kedua, problematika pertama bertautan dengan problematika utama lainnya yakni menyangkut aspek pengaturan Pemilu (Electoral regulation), kesisteman (Electoral system), penyelenggara Pemilu (Electoral Management Bodies), tahapan Pemilu (Electoral process, cycle of election), dan sistem penegakan hukum Pemilu (Electoral Justice Systems, electoral law).
Dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2019, kedua problem di atas; selain akan mempengaruhi persiapan, pelaksanaan, dan hasil-hasil Pemilu, secara teknik juga akan menjadi tantangan tersendiri terhadap integritas Pemilu. Dalam konsep integritas Pemilu, terdapat tiga ruang lingkup terdiri atas integritas proses tahapan Pemilu, integritas hasil-hasil Pemilu, dan integritas para penyelenggara Pemilu.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, isu integritas Pemilu menjadi masalah yang dominan, sehingga digambarkan sebagai “Pemilu dengan praktik politik uang paling masif sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia”; “Pemilu legislatif yang paling brutal”, “Pemilu dengan perilaku politik uang lebih terbuka dan tidak tertutup seperti di masa lalu;” “Pemilu yang kapitalis, kanibal, dan korup”; dan “para kandidat telah membagi-bagikan uang kepada pemilih, memberikan barang serta menyuap para pejabat penyelenggara Pemilu pada tingkat yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam sejarah Pemilu di Indonesia.” (Aspinall and Sukmajati, 2016:2).
Problematika integritas Pemilu Legislatif tahun 2014 tampak dari data-data penanganan pelanggaran oleh DKPP yakni dari sebanyak 862 kasus pengaduan diterima oleh DKPP, setelah diverifikasi, sebanyak 4.723 orang dari 8.508.354 (dari 8.234.211 jajaran KPU dan 274.153 jajaran Bawaslu) ditetapkan sebagai Teradu.
Contoh kasus dalam Pileg dan Pilgub Lampung Tahun 2014, terdapat kerumitan-kerumitan, terutama saat pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Selain memerlukan waktu yang melebihi satu hari dari ketentuan undang-undang, juga tidak mudahnya menyelesaikan penghitungan suara karena keberlarutan penghitungan suara mengundang konsekuensi dan implikasi lainnya. Dengan kata lain, “perkawinan Pemilu”, atau Pemilu “Lima Kotak Suara”, yakni: (1) Kotak suara calon anggota DPR RI; (2) Kotak suara calon anggota DPD RI; (3) Kotak suara calon anggota DPRD provinsi; (4) Kotak suara calon anggota DPRD kabupaten/kota; dan (5) Kotak suara calon gubernur dan wakil gubernur, memiliki kerawanan tersendiri.
Gambaran Singkat Pemilu Lampung Tahun 2014
Melalui proses panjang dan diliputi konflik di antara elite politik lokal, akhirnya Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung Tahun 2014 berhasil digelar bersamaan waktunya dengan Pemilu Legislatif pada 9 April 2014. Rakyat pemilih yang hadir di TPS dan mendapati 5 lembar/kertas surat suara dan kotak suara: (1) Kotak suara calon anggota DPR RI; (2) Kotak suara calon anggota DPD RI; (3) Kotak suara calon anggota DPRD provinsi; (4) Kotak suara calon anggota DPRD kabupaten/kota; dan (5) Kotak suara calon gubernur dan wakil gubernur
Berdasarkan data dan informasi KPU dan Bawaslu Provinsi Lampung, berikut gambaran “perkawinan 2 (dua) Pemilu:”
1. Dari 14 daerah otonom, Pemilu Lampung Tahun 2014 terdapat 779.623 pemilih, 1.922 TPS, 8 Dapil, 120 PPK, 792 PPS, dan 17.298 KPPS.
2. Secara umum penyelenggaraan Pemilu diwarnai maraknya politik uang berupa pembagian gula, dan setidaknya seminggu terjadi pembagian gula secara gratis di Lampung—sebagaimana keterangan salah seorang Paslon yang melaporkan fenomena “gula politik” ke DKPP.
3. Kendatipun “gula politik” marak, namun tak satupun yang berhasil dibawa ke pengadilan, dengan rupa-rupa alasan seperti tidak cukup bukti dan tidak terpenuhi unsur-unsur pelanggaran tindak pidana Pemilu.
Tahapan paling krusial adalah “Hari H” Pemilu (Voting day). Basis dari tahapan ini terutama di 1.922 TPS dengan melibatkan 779.623 pemilih. Secara umum proses pemungutan suara sebagaimana terjadi di banyak tempat di tanah air. Saksi Partai Politik dan saksi Paslon Pilgub dari Lima Paslon berada di satu TPS bersama para petugas dan berbaur dengan pemilih. Tampak hiruk pikuk, tapi secara umum berlangsung aman, damai, dan demokratis. Bahkan kolaborasi di banyak TPS tak terhindarkan, di antara saksi Parpol dan Pilgub saling mengisi dan menitipkan terjadi.
Problematika baru terjadi, terkait dengan penghitungan suara, yakni:
1. KPPS harus membuka dan menghitung kelima kotak suara, dan setiap pembukaan kotak langsung dihitung dan dibacakan di hadapan yang hadir;
2. Saat pembacaan dan penghitungan suara diharuskan di tempa terang, dan disaksikan selain oleh saksi parpol juga oleh Panwaslu;
3. Penanganan satu kotak suara sejak dibuka, dicocokkan, dicatat, dibacakan, dipindahkan ke kertas Plano, dipindahkan ke Form C, memakan waktu antara 3-4 jam bahkan di sejumlah titik di Pringsewu hingga memakan waktu 5 jam;
4. KPPS harus mengisi Form C Pileg sebanyak 9 berkas (set) dengan rangkapnya, dan Form C Pilgub sebanyak 8 berkas dengan rangkapnya;
5. Form Model C, Model C1 dan Lampirannya untuk Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dengan 17 set diberikan masing-masing 1 set untuk setiap Saksi dari Parpol yang hadir, untuk PPL, 1 set ditempel pada papan pengumuman di TPS, 1 set untuk PPS, 1 set Berhologram untuk rekapitulasi oleh PPS, dan 1 set langsung ke KPU Kab/Kota melalui PPK. Kalikan dua untuk kedua jenis Pemilu;
6. Kadang-kadang 17 belas berkas dengan rupa-rupa pembagian kepada para pihak, hendak digandakan dengan foto kopi—kecuali yang berhologram—ke tempat/toko fotokopi. Daerah seperti Pringsewu tidak ada fotokopi sebaik di Kota Bandar Lampung, berjarak satu jam perjalanan;
7. Di perjalanan, entah apa yang bakal terjadi, ketika Form isian hasil penghitungan suara dibawa oleh seseorang—hal yang rawan dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Seperti terjadi di sebuah TPS di Pesawaran, angka ada yang bengkok-bengkok;
8. Menurut Ketua KPU Provinsi Lampung, rata-rata KPPS mampu menyelesaikan penghitungan suara pada hari ke-2 Hari H, bahkan hingga hari ke-4;
9. Pengalaman dalam Pemilu Tahun 2014, ada 3 (tiga) orang yang meninggal dunia—bagian dari 157 orang KPPS yang gugur dalam medan tugas. “Pahlawan tanpa tanda jasa.”
Perkiraan pelaksanaan “perkawinan Pemilu tahun 2019”, atau “Pemilu Lima Kotak Suara Pemilu tahun 2019”.
Pemilu Tahun 2019 tidak akan berbeda dengan “model Pemilu Lima kotak” dalam Pemilu Lampung Tahun 2014, baik dari relativitas ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun jenis-jenis Pemilu.Pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) sekarang tengah membahas RUU Penyelenggaraan Pemilu, bahkan dalam hemat saya, jauh akan lebih rumit daripada Pemilu Tahun 2014 yang lampau. Peluang untuk menempatkan Pemilu tahun 2019 sebagai “Pemilu dengan tantangan integritas” berangkat dari asumsi apabila Sistem Pemilu adalah proporsional dengan daftar calon terbuka dan lebih-lebih penentuan melalui suara terbanyak sebagaimana Pemilu tahun 2009”, kemungkinan besar konotasi Pemilu ”brutal, masif, dan terang-terangan” untuk menggambarkan Pemilu tahun 2014, bakal terulang dalam Pemilu tahun 2019.
Perjalanan Demokrasi Elektoral Sejak Runtuhnya Orde Baru telah menghasilkan sebanyak 1.230 kali Pemilu. Harus diyakini bahwa tradisi demokrasi elektoral telah menemukan “form terbaiknya”. Karena tumbuh optimisme bahwa Pemilu tahun 2019 akan a berjalan dengan baik, mengingat baik penyelenggara Pemilu, pemilih, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya, telah terbiasa dengan penyelenggaraan Pemilu.Para penyelenggara Pemilu telah mahir dengan tugas, wewenang, dan kewajibannya.
Meskipun demikian, khusus untuk Pemilu tahun 2019, ada cukup alasan bagi kita untuk khawatir, karena terdapatnya alasan-alasan yang sebagian di antaranya telah tergambar dalam Pemilu Lampung Tahun 2019 di atas. Alasan-alasan kekhwatiran kita bersumber dari sejumlah isu, yakni: Pemilu serentak “model Lampung” setidaknya sedikit memberi gambaran mengenai ”perkawinan dua Pemilu”; Pemilu tahun 2019 adalah Pemilu pengalaman baru, atau Pemilu eksperimen pertama dalam perkembangan demokrasi elektoral kita; Dari sisi teknik kepemiluan, Pemilu tahun 2019 memiliki perkiraan kompleks, baik bersumber dari faktor-faktor objektif dan faktor-faktor subjektif kita; Ibarat sepakbola, dalam setiap Pemilu selalu terjadi pelanggaran-pelanggaran.
Problematika teknik tersebut sejalan dengan data-data pelanggaran selama pelaksanaan Pemilu Legislatif secara nasional, terdapat keadaaan yang memerlihatkan bahwa Hari H Pemilu memang mendorong alasan untuk kita khawatir. Perkiraan kecenderungan Pemilu tahun 2019 terkait pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, akan didominasi oleh pelanggaran pengadaan dan distribusi suara, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi hasil perolehan suara, penetapan hasil rekapitulasi suara, dan hal itu semua disebabkan dari proses yang belum tuntas di TPS.
Perkiraan problematika Pemilu tahun 2019 tidak lagi meliputi hal-hal yang bersifat eksistensial, namun bersifat klerikal, teknikal, dan administrasi, sembari juga mewaspadai hubungan antara hal-hal tersebut yang berakibat pada pencideraan integritas Pemilu. Meskipun pengalaman baru, Indonesia pernah mempunyai pengalaman dalam menyelenggarakan Pemilu serentak, sebagaimana ditunjukkan dalam Pemilu Lampung Tahun 2014. Dari pengalaman Pemilu Lampung Tahun 2014, kita dapat memetik pelajaran bahwa gambaran perlunya peningkatan kapasitas, integritas, dan kemandirian penyelenggara Pemilu memegang peran utama. Usaha untuk meningkatkan kapasitas penyelenggara Pemilu, adalah hal yang mutlak guna mengantisipasi segala kemungkinan terhadap potensi ancaman integritas termasuk sistem kontrol yang ketat.Manipulasi suara bermula dari jenjang TPS, dan karena itu perhatian penyelenggara Pemilu seyogyanya dititikberatkan pada capcity building terhadap KPPS.[Diah Widyawati]
*Ditulis kembali dari makalah pada Seminar Nasional XXVII Pemilu Serentak Tahun 2019 Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27-28 April 2017