?Tragedi Pulpen Jatuh?

Senin, 05 Mei 2008 , 15:19:42 WIB
?Tragedi Pulpen Jatuh?

ketua-bawaslu-menporaCoba anda amati dengan seksama ilustrasi foto yang dimuat di Harian Republika hari Selasa tanggal 18 November 2008 ini. Apa yang dapat anda simpulkan? Ketua Bawaslu nampak membungkukkan badannya, sementara Adhyaksa mengacungkan jari telunjuknya “seolah-olah” seperti sedang “memarahi” (atau menurut penulis, ekstrimnya Ketua Bawaslu “menyembah-nyembah minta ampun/” sementara Adiyaksa nampak seperti sedang “mengintimidasi/memarahi”).

Foto di atas semata-mata cuma rekayasa atau ada maksud lain di balik pemuatan foto tersebut, sebab menurut hemat penulis Harian sebesar Republika tentunya memiliki persediaan foto yang cukup banyak. Apa yang  menjadi pertimbangan redaksi akhirnya memilih foto itu untuk ilustrasi di antara sekian banyaknya stok foto.Mengapa tidak digunakan foto lain yang tidak menimbulkan implikasi negatif bagi pihak tertentu.

Satu gambar dengan makna ganda, seperti misalnya seolah-olah posisi Menpora lebih tinggi dibanding posisi Ketua Bawaslu. Padahal antara Bawaslu dengan Kementrian Pemuda dan Olah Raga adalah sejajar karena Kedua lembaga ini sama-sama bertanggung jawab Presiden RI sama-sama dibentuk berdasarkan UU. Meskipun yang mengambil sumpah Menpora adalah Presiden sedangkan Ketua Bawaslu diambil sumpahnya oleh Hakim Agung. Seolah-olah ada subordinasi di antara keduanya.

Ada baiknya penulis ceritakan apa yang sebenarnya terjadi dibalik foto itu. Hari Senin, 17 November 2008 jam 10.00 wib datanglah Kepala Biro Humas dan Hukum Menpora I Gusti Ngurah Sucitra ke kantor Bawaslu. Maksud dan tujuannya ingin menggunakan kantor Bawaslu sebagai tempat untuk menggelar konfrensi pers sehubungan dengan laporan Pemuda Muhammadiah terhadap iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Kementrian Pemuda dan Olah Raga.

Sebagai badan yang independen yang harus menjaga netralitas dan obyektifitas maka tentu saja Bawaslu harus bijak menanggapi permintaan tersebut. Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa kedatangan Menpora Adhyaksa Dault adalah untuk melapor, sekaligus minta agar Bawaslu memeriksa dirinya, apakah yang bersangkutan melanggar UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD atau Peraturan KPU No. 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Pada saat Menpora datang menyampaikan laporannya, Pak Ketua belum hadir karena masih dalam perjalanan dari Bandara. Menjelang paruh akhir acara beliau baru datang, suasana ruangan yang tidak seberapa besar tampak penuh sesak dengan teman-teman media. Untuk mengambil posisi di meja pun Pak Ketua kesulitan, harus menyibak puluhan manusia di depannya.

Pak Ketua harus benar-benar “berjibaku”, untuk sampai di kursi samping Menpora, akibatnya pulpen yang ada di saku bajunya terjatuh. Pada saat Pak Ketua membungkuk mengambil pulpen itulah, teman-teman jurnalis foto yang nampaknya sudah sangat tidak sabar untuk segera mengabadikan momen tersebut, karena dikejar deadline langsung saja mengambil foto.

Tampaknya fotographer yang satu ini mempunyai naluri tajam untuk mengabadikan momen tersebut. Atau mungkin banyak juga jurnalis foto lain yang melakukan hal yang sama? Bedanya mereka tidak memuatnya mungkin karena ada pertimbangan dari  sisi etika, artistik dan lain sebagainya. Karena dari semua media yang datang meliput acara dan mengabadikannya, hanya Republika yang memuatnya dengan foto ukuran besar.

Sementara penulis merasa sangat tidak nyaman dengan pemuatan foto tersebut (dengan alasan harga diri terluka) dan berancang-ancang untuk melayangkan surat keberatan ke redaktur foto Harian Republika. Tiba-tiba sms di HP penulis berbunyi.....” tidak usah, jangan gampang pemarah”.

Cesss....seperti kemarau panjang yang disiram hujan.... seperti itulah Pak Ketua, selalu bisa mendinginkan hati kami para staff-nya. Terlihat kesabaran dan kebesaran hatinya. Tanduk yang sudah muncul di kepala hilang seketika.....apa mau dikata???Nampaknya kita harus belajar banyak dari hal ini....bukan salah Menpora juga, karena gaya meledak-ledak memang sudah jadi pembawaannya.

Pada hari Senin, 24 Nov 08 penulis bertemu dengan fotographer harian Republika pada acara pertemuan antara Bawaslu dengan ICW di Gedung Juang. Penulis menanyakan apa alasan redaktur foto memilih foto tersebut di antara stok foto yang lain. Mba Nunu, nama fotographer yang imut-imut itu hanya tersenyum simpul. Satu senyum dengan berjuta makna.

(Ditulis oleh Dio - Staff Bawaslu)