Khitah Peran Politik ABRI

Senin, 05 Oktober 1998 , 17:38:39 WIB
Khitah Peran Politik ABRI
Media: SUARA MERDEKA Hari/Tanggal: Senin, 5 Oktober 1998 Jika jari telunjuk diarahkan ke kekuasaan Orde Baru sebagai biang multikrisis yang belakangan ini, salah satu menunjuk ke institusi ABRI. Ia patut ditempatkan sebagai pihak yang dipersangkakan (blaming factor). Mengingat, daftar hitam berbagai pelanggaran HAM di Aceh, Tanjung Priok, Santa Cruiz, Nipah, Amungme, dan seterusnya memiliki keterikatan dengan personalitas dan institusionalitas ABRI. Apalagi kalau kemudian diperlihatkan pula peristiwa Trisakti, kasus penculikan aktivis mahasiswa, menyusul kasus Marsinah, Udin, pencopotan beberapa figur bupati (dari unsur keluarga besar ABRI/KBA), persangkaan itu makin jelas. Rapor ABRI di era Orde Baru memang tidak menguntungkan. Ada dua benang merah dari reputasi ABRI tersebut. Pertama, ABRI berkesan kesulitan memerankan dirinya (kedodoran) di era reformasi dan euforia politik kontemporer. Tidak hanya kesulitan dalam arti tingkat wacana, namun sekaligus peran-peran yang semestinya memungkinkan menjadi pahlawan bagi bangsanya. Seperti menjelang kejatuhan figur sentral Orde Baru, berkali-kali petinggi ABRI menyatakan Pemerintah (Soeharto) selalu membuka peluang bagi reformasi, yang dalam bahasa Jenderal Wiranto: telah, sedang, dan akan mengadakan reformasi. Sejak awal, misalnya, ABRI mengartikan reformasi dengan kata-kata gradual, konstitusional, dan tepat arah, yang dipandang oleh mahasiswa dan tokoh reformasi sebagai pengaburan makna sesungguhnya dari maksud-maksud perubahan di Indonesia, dengan tingkat signifikansi tinggi bagi peradaban di Indonesia. Di samping itu, pernyataan Menhankam/Pangab sesaat setelah BJ Habibie dilantik sebagai Presiden, ABRI akan melindungi keselamatan mantan presiden Soeharto beserta keluarganya, justru menjadi bumerang bagi ABRI kini. Karena pernyataan tersebut tidak dijelaskan apakah melindungi keselamatan secara fisik atau keselamatan untuk menghindari jeratan hukum yang sekarang menguat, dengan tujuan menyeret Pak Harto sebagai pesajitan hukum dan ke sidang istimewa MPR 1998 mendatang. Siapa pun warga negara, termasuk Pak Harto, memang harus dilindungi keselamatan jiwa dan raganya. Namun perlindungan tersebut seharusnya mengecualikan untuk persangkaan-persangkaan hukum. Posisi demikianlah yang kemudian menyudutkan ABRI pada pojok status quo kekuasaan Orde Baru. Kedua, dalam kerangka demikian selayaknya ABRI mempertimbangkan kembali langkah-langkahnya. Dalam konteks ini, ABRI dituntut meredefinisi, mereposisi, dan mereaktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat bangsanya. Di sini, biang dari peran sosial politik dari dwifungsi ABRI mendesak untuk dibenahi. Ia harus dikembalikan ke konstitusi dasar. Secara tersisrat, UUD 1945 menempatkan angkatan bersenjata sebagai instrumen kekuasaan negara, bukan alat kekuatan rezim pemerintahan. Apalagi di era multipartai mendatang, sangat mungkin bila kekuasaan Pemerintah mengalami sirkulasi fluktuatif, sehingga pergantian rezim dianggap hal yang jamak. Dengan demikian, jika ABRI masih mendukung salah satu partai (Golkar) seperti diperlihatkan selama 32 tahun, kepada siapa kekuasaan negara ditumpukan? Khitah Strategis Selama Orde Soeharto, secara jelas ABRI berada di suprastruktur dari sistem politik Indonesia. Ketika itu, ABRI adalah bagian integral dari sebuah kekuasaan. Pada awalnya malah dijadikan sebagai mesin politik (electoral machine) kekuasaan Soeharto. Dalam kerangka infrastruktur, ABRI mengubah cara dari bermain politik ke arah mempengaruhi keputusan-keputusan politik strategis. Hal itu sekaligus akan lebih banyak menempatkan ABRI sebagai akomodator terhadap derap langkah dan dinamika masyarakat, seraya lebih menggaransikan keutuhan kepentingan nasional utama, yakni tetap tegaknya Pancasila dan UUD 1945. Kedua, secara bertahap mengembalikan posisi-posisi yang didudukinya untuk diserahkan kepada kaum sipil. Kata tepatnya, merintis proses role and sharing political dengan kekuatan di luar militer. Kalaupun ingin berpolitik, kader ABRI harus melepaskan atribut militer. Misalnya memurnawirakan, bukan mengaryakan ABRI. Ketika seorang kader ABRI berpolitik, ia warga sipil biasa, yang lepas dari keterikatan secara diametral dengan almamaternya. Metode ini memperkukuh cara pandang ABRI ke depan, yakni cara-cara bermain secara langsung diganti dengan cara-cara mempengaruhi proses-proses keputusan politik tingkat strategis, yang menentukan hajat hidup politik orang banyak. Misalnya persoalan yang menyangkut ideologi, disintegrasi bangsa, serta dimensi pertahanan dan keamanan. Ketiga, ABRI mendorong pendekatan dan orientasi: dari pendekatan keamanan ke pendekatan kemakmuran. Dalam kerangka itu, pelimpahan tugas-tugas keamanan sipil tidak lagi dibebankan kepada ABRI, namun diserahkan ke Polri. Jangan sampai setiap persoalan dari A sampai Z ditangani TNI ABRI, termasuk urusan perburuhan, perizinan penyelenggaraan acara hajatan sunat, serta perkara-perkara sepele yang lain. Secara legawa Polri memang mesti dimandirikan. Maka lembaga-lembaga pembinaan teritorial semacam hierarki kodam, korem, kodim, koramil, hingga babinsa mendesak dibenahi atau ditinjau kembali. Demi keamanan negara, kesatuan-kesatuan ABRI dibentuk dalam unit-unit ketentaraan terkecil seperti batalyon-batalyon tersendiri. Sebagai ganti, ABRI mendorong pelatihan masyarakat sipil agar terlibat secara aktif dalam keamanan negara. Antara lain dengan merekrut untuk rakyat terlatih. Setiap warga negara yang memenuhi persyaratan fisik dan mental diwajibdinaskan dalam keamanan negara. Selama ini, biarpun tanggungjawab keamanan selalu ditekankan menjadi tugas semua warga negara, persoalan keamanan rupanya identik dan eksklusif dengan ABRI. Area keamanan dimonopoli ABRI. Kaum sipil tidak merasa ?memiliki? tanggung jawab itu. Alasan Pendukung Mendesaknya restrukturisasi politik ABRI, selain tuntutan modernitas juga didasari berbagai pertimbangan objektifitas. Pertama, tuntutan profesionalisme, diferenisasi, dan spesialisasi tugas-tugas kenegaraan. Adalah muskil jika kemampuan ABRI dengan personel di TNI/AD hanya 235.237 orang, misalnya, dituntut mengover semua segi kehidupan bangsa lewat ?multifungsi? ABRI. Kedua, dalam kerangka tersebut, ABRI yang dikembangkan di masa datang adalah generasi ABRI karier. Sebagaimana saya jelaskan berikut ini; terdapat latar belakang motivasi antara generasi ABRI 1945 dan pasca-1945. Menurut pendapat ZA Maulani, kini Kabakin, perwira generasi revolusi ABRI memasuki angkatan bersenjata karena didorong oleh cita-cita politik untuk ?membela kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Karena itu, keputusan mereka menerjunkan diri ke dalam angkatan bersenjata merupakan pilihan politik?. Sementara generasi sesudahnya memasuki ABRI lebih banyak didorong oleh pilihan karier. Perwira ABRI generasi penerus di masa depan adalah perwira karier dari ABRI yang dalam proses pemberitahuannya makin hari kian menjadi tentara jabatan (career army). Dengan demikian, proses pelatihan yang dialami tentara karier adalah pembentukan kepemimpinan militer yang bertumpu pada kekuatan hukum, disiplin, dan prosedur teknis militer yang ketat. Produk dari proses akademis itu dalam sikap-sikap yang menaati hukum, peraturan, dan kebijaksanaan, yang berbasiskan pada wewenang yang sah. Perwira yang bersifat demikian tak akan menentang demokratisasi dan penegakan HAM yang dijalankan secara konstitusional dan berdasarkan hukum. Sebaliknya, setiap usaha yang mengatasnamakan demokrasi dan hak asasi manusia, namun diartikulasikan secara konstitusional dan radikal, akan ditentang karena dinilai sebagai pelanggaran hukum dan pengacauan ketertiban. Ketiga, masalah regenerasi di tubuh ABRI. Terdapat perbedaan jelas antara ABRI Angkatan 1945 dan ABRI pasca-Angkatan 1945. Yang pertama adalah pejuang revolusi dan merasakan betul arti penjajahan dengan segala implikasinya. Yang kedua angkatan yang berbasis ideologis dari kader-kader Lembah Tidar Magelang lewat AKABRI. Jelas, alasan bagi kader yang pertama manakala mengklaim keperjuangannya lebih akseptabel. Namun, generasi geng Magelang tidak bisa serta merta mengklaim merekalah ?pewaris suci? republik ini, sehingga secara otomatis mewarisi hak-hak berkah istimewa seperti diperoleh generasi pejuang dalam (sumber) perekrutan kepemimpinan nasional. Hak dan kewajiban generasi baru seangkatan Subagyo, Agum Gumelar, Bambang Yudoyono, serta kolega dan generasi sesudahnya sebanding dan sejajar dengan politikus sipil seangkatan Amien Rais, Matori Abdul Djalil, Megawati Soekarno Putri, Akbar Tandjung, serta kolega dan generasi sesudahnya. Demikianlah, format baru dan profil politik (khitah) ABRI di masa depan yang layak dipertimbangkan, baik bagi kemajuan ABRI maupun sebagai langkah awal bagi kemaslahatan umat Indonesia secara keseluruhan. Itu semua diabdikan antara lain bagi kejayaan bangsa sekaligus upaya investasi dan minimalisasi multikrisis yang kemungkinan bisa timbul kembali di era-era mendatang. Khitah politik demikian, kini menemukan relevansi. ?    Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip.