Menarik Batas Eksklusivitas Partai (Menyambut Muktamar PPP)

Sabtu, 28 November 1998 , 18:07:23 WIB
Menarik Batas Eksklusivitas Partai (Menyambut Muktamar PPP)
Media : SUARA MERDEKA Hari/Tanggal : Sabtu, 28 November 1998 Arus reformasi telah melahirkan Parta Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai pahlawan. Setidaknya, demikian yang tampak selama prosesi Sidang Istimewa (SI) MPR 1998 tempo hari. Sukses PPP beberapa di antaranya, ketika ia berhasil mengegolkan Tap MPR tentang Pencabutan Asas Tunggal Pancasila, Tap MPR tentang Pencabutan P-4, serta fenomena walk out dan voting fraksi PPP MPR ketika ia harus berhadapan dengan kemapanan status quo yang diperankan oleh FKP, FABRI, FUD, dan FPDI dalam pembahasan dwifungsi ABRI. Ada dua makna strategis di balik kinerja politik PPP yang demikaian. Pertama, PPP berlaku konstituensi dengan aspirasi rakyat. Ia telah mewakili suasana hingar bingar reformasi di luar Gedung MPR dengan ?suasana reformasi? di dalam gedung wakil rakyat. Sejak awal orang pesimistis dan bahkan apriori tingkat tinggi terhadap pelaksanaan SI MPR dengan segala produk-produk hukum yang bakal dihasilkannya, terutama kebekuan politik yang diperankan oleh FKP yang beberapa kali melindungi kepentingan-kepentingan politik Orde Baru dan mantan presiden Soeharto dengan menjegal draf-draf reformasi yang diusulkan PPP selama persidangan BP MPR. Setidaknya dengan profil politik FPP selama SI MPR tempo hari. Berarti ia telah mengembalikan rakyat terhadap lembaga-lembaga resmi negara. Satu hal yang teramat penting bagi prasyarat bagi negara demokrasi. Kedua, bagi PPP, ia adalah investasi politik. Terutama jika dikaitkan dengan euforia politik belakangan ini. PPP yang masih mengklaim dirinya sebagai ?partai Islam?, sesungguhnya itu berfaedah bagi kualitas kinerja politik selanjutnya. Pada posisi demikian, sudah selayaknya jika ia merumuskan ?wilayah tembak? (political angle) baru, yang tidak saja klaim risalah Islam sebagai ?kereta dorong? pada saat berhadapan dengan massa pemilih tetapi sekaligus sebagai etos serta moralitas politik kepartaian dan yang sarat dengan inklusivitas Islam di tengah-tengah pluralitas masyarakat bangsanya. Politik Aliran Dipahami, politik aliran adalah identifikasi kepolitikan suatu subkultur politik berdasarkan korelativitas antara orientasi, sikap, dan perilaku politik pemilih. Pada kantong-kantong Islam tradisional, orang memilih PPP bukan semata-mata karena pertimbangan program-programnya (aspek profanistik), melainkan lebih dari itu mereka menghendaki partai Bintang sehubungan dengan atau mempertautkannya dengan persoalan-persoalan ukhrowiyah (aspek vertikalistik). Di sini entitas, partai ditempatkan sebagai alat perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai (ideologi) Islam. Oleh karena itu adalah etos perjuangan mencoblos partai Bintang sebagai sebuah keniscayaan (bagi umat Islam?) yang separalel, misalnya ketika menyembah kepada Tuhan (ubudiyah). Dengan demikian Islam dipahami sebagai ideologi politik yang sudah selayaknya wajib dilakukan oleh pemeluknya. Oleh karena itu keharusan formal dan administratif kenegaraan, seperti kebutuhan UU No. 3 dan UU No. 8 tahun 1985, amat boleh jadi kata-kata Islam tidak dicantumkan sebagai asas partai. Namun partai Bintang justru ?menikmati? betapa selama ini ia memobilitasi dukungan Islam sebagai sumber politik yang bersifat aksiomatik, dengan isu-isu pemilik misi dari ajaran Islam serta dalam lingkupan ahlusunnah wal jama?ah menuju terbentuknya sistem kemasyarakatan yang masih terkait pada apa yang oleh Smith disebut sebagai traditional religio political system. Dalam masyarakat semacam itu, komponen ideologi secara keseluruhan ditarik dari wilayah agama dengan sebaliknya, ia mengabaikan atau bahkan mematikan ideologi sekuler. Dalam kosmologi politik demikian entitas agama difungsikan sebagai instrumen atau daya legitimasi terhadap tindakan-tindakan politik yang dalam kadar tertentu, diimplementasikan dalam bentuk-bentuk kekuasaan sarkasme (penjarahan) maupun yang santun (konstitusional). Secara pola politik, maka posisi agama lewat instrumen kaum agamawan yang diperalat sebagai perpanjangan tangan kepentingan politik dari sponsor politik tertentu. Secara teoretis, asumsi ini difasilitasi dengan pendapat JP Nettl dalam buku Political Mobilization A Sociological Analysis of Methods and Concept yang menyatakan, terdapat tiga varian kelompok (atau aktor) politik, yang mampu mempengaruhi atau memobilisasi massa secara besar-besaran. Pertama, kaum agamawan. Kedua, para politikus atau elit politik. Ketiga, penguasa atau elit militer. Untuk kasus di Indonesia, meski tingkat kesumiran masih tinggi, saya kira kinerja PPP mengindikasikan ke arah sana. Apa implikasi di balik bangun politik demikian? Saya kira bakal menginspirasikan betapa agama bisa dimanipulasi demi tujuan-tujuan yang amat sektoral. Dengan begitu wilayah agama yang semestinya berlaku sebagai kanopi suci (the sacred chanophy), meminjam istilah Peter L Berger, menjadi tereduksi dan dalam jangka panjang bakal hilang sama sekali. Dengan demikian, tidak saja ajaran agama yang terancam bangkrut untuk jangka lama, juga partai itu sendiri bakal kehilangan ?daya kejutnya? sebagai instrumen perjuangan ketika harus membebaskan kungkungan-kungkungan penguasaan politik. Agenda Muktamar Dalam muktamar yang akan digelar besok, saya kira pelu diagendakan beberapa hal. Pertama, merumuskan kembali visi dan misi PPP, dengan menempatkan dirinya ketika berhadapan dengan (terutama) massa Islam, bangsa, dan negara. Konsep yang selama ini dipakai sebagai alat perjuangan, seperti risalah amar ma?ruf, nahi munkar, dan keimanan kepada Allah. Seperti ditulis oleh Kuntuwijoyo (1991), misi profetik suatu organisasi Islam adalah seperti termaktub dalam QS An-Nisa ayat 110. Pada misi amar ma?ruf, ia berarti penyadaran (liberasi), nahi munkar adalah pembebasan (emansipasi), dan keimanan sebagai transendensi (emanasi), yang ketiganya adalah moralitas perjuangan partai. Langkah khitah partai yang ingin mengembalikan ?simbol-simbol? Islam (menggantikan asas Pancasila dengan asas Islam dan gambar Bintang dengan gambar Ka?bah) sebagai moral partai, saya pandang sebagai langkah strategis menuju apa yang saya maksudkan. Kedua, dalam kerangka menuju kepada kekuatan Islam sebagai instrumen perjuangan, idealnya memang PPP berkoalisasi dengan partai sejenis. Tuntutan ini jelas tetap diorientasikan kepada kerangka perjuangan dengan tetap berpedoman pada spirit ukhuwah Islamiah dan ukhuwah wathaniyah. Betapa pun, partai ini tidak banyak artinya jika tidak melakukan koalisi seperti ini. Mengapa? Oleh karena di samping untuk mengantisipasi kekuatan ?sekuler? yang makin mendapat tempat di hati rakyat selama era euforia politik belakangan ini, partai Bintang juga memiliki fardlu kifayah agar kekuatan tersebut jangan sampai menjadi ?kerikil dalam sepatu? bagi perjuangan (dalam menegakkan) nilai-nilai Islam, untuk kemudian manggantikan ?lawan? politik sebagai kawan politik. Jangan lupa untuk tidak melihat fenomena partai Bintang selama SI MPR. Perjuangan menegakkan moral Islam justru lebih banyak diperankan oleh partai ?sekuler? semacam PDI Perjuangan di bawah Megawati Soekarnoputri ketika ia menjadi lambang kaum mustad?afien; yang karena selama dekade terakhir kekuasaan Orde Baru lebih banyak dizalimi, yang suka atau tidak partai Bintang memiliki kontribusinya, sehingga mereka seperti itu. ?    Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, Semarang.