Akbar Paling Suka Obral Janji, Amien Menyusul

Kamis, 14 Januari 1999 , 18:48:33 WIB
Akbar Paling Suka Obral Janji, Amien Menyusul
Media        : Tanggal    : Ramalan adalah ramalan, tetap saja ia mengandung kelemahan dan banyak salah sasaran. Terbukti, prediksi bakal adanya banyak kerusuhan politik yang menyertai selama pelaksanaan kampanye Pemilu 1999 ini ternyata meleset sudah. Tanpa menafikan kenyataan betapa masih adanya perusakan terhadap partai Golkar, pelaksanaan kampanye putaran pertama (19-24 Mei 1999) secara umum boleh dibilang sukses besar. Terhadap pelaksanaan kampanye pada putaran pertama itu, saya ada tiga catatan yang boleh jadi berharga untuk kita cermati. Pertama, persoalan janji-janji politik yang telah dinyatakan oleh para juru kampanyae (jurkam) dan juga lewat elit-elit partai politiknya. Memang, ibarat suatu masakan yang kurang garam, demikian pula jika kampanye tanpa janji-janji, rasanya akan hambar. Studi analisis ini yang saya lakukan secara intens terhadap empat surat kabar (Kompas, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, dan Wawasan) dalam lima hari pertama (19-24/5) pelaksanaan kampanye, telah berhamburan 201 buah janji dari mulut-mulut sang juru kampanye dan tokoh-tokoh partai politik. Dari 101 janji yang terpantau oleh keempat media massa tersebut, yang kemudian diklasifikasikan sebagai statement janji, maka paling sering menjanjikan kepada publik politik adalah PKB dan PPP, dengan 17 kali atau 16,6% janji. Suka Obral Sementara itu, tokoh yang suka ngobral janji dalam setiap kampanyenya justru Akbar Tandjung. Di Jawa, Akbar dan Golkar boleh dikuya-kuya, namun di luar Jawa, ia selalu dikerubuti massa yang cukup signifikan. Dari angka ini sekaligus, saya kira, basis Golkar masih cukup kuat di Sumatera dan terutama di Sulawesi. Disusul kemudian, dengan angka 7 kali (10%), Amien Rais menempati urutan setelah Akbar, selanjutnya Hamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra (10%). Sedangkan Matori Abdul Djalil dan Edi Sudrajat, diurutan yang sama, yaitu 8,3%. Tokoh besar namun hemat dalam mengeluarkan janji-janji politiknya adalah Megawati Soekarnoputri. Padahal, saat kampanye di Jakarta dan Bandung (23/5), misalnya, sekitar seperempat juta massa pendukungnya menyimak secara khidmat orasinya. Jakarta dan Bandung merah total, seolah terhipnotis oleh kedatangan Megawati. Justru paradoksal ada pada Edi Sudrajat. Meskipun massa yang datang puluhan orang, itu pun sekedar kampanye dialogis di ruang-ruang pertemuan, ia banyak obral janji. Lewat PKP-nya, jika tidak sekedar ?menyerang? BJ Habibie-Golkar dengan segala minusnya, Edi terjebak pada isu-isu yang tidak substansial. Di sini sesungguhnya signifikansi masa lalu dan masa depan sebuah partai politik dan figur-figur politik amat ditentukan oleh kinerja selama masa kampanye itu. Tetap Beradab Kedua, politik adalah suatu keadaban (political fatsoen). Jika kemudian ada asumsi; politik itu adalah kotor (political virtuei), saya kira amat tergantung pada para elit partai politiknya. Ada yang saya catat, seorang elit sebuah parpol saling menyerang melalui media kampanyenya. Yang satu menyatakan plintat-plintut dan mencla-mencle, yang satunya menjawab, ?Ia masih hijau pengalaman politiknya?. Saling menyerang boleh jadi halah dalam berpolitik. Tapi faktor konsekuensi tidak bisakah dipertimbangkan lebih jauh, mengingat seorang figur ketua umum, misalnya, adalah referensi politik bagi massa di bawahnya. Pernyataan Gus Dur boleh jadi alternatif teladan bagi jurkam lain. Dalam kampanyenya di Lombok, ia menolak istilah ?menyeret? untuk menuntaskan kasus (dugaan) KKN yang dilakukan Pak Harto. Seorang Khafifah boleh ditiru saat ia menganjurkan kepada massa PKB agar menganggap partai lain adalah saudara. Untuk itu, ia mengajak kepada massa agar memekikkan kata-kata ?hidup? bila Khafifah menyebut partai-partai lain, dan memekikkan kata-kata ?menang? bila dirinya meneriakkan ?PKB?. Maka ketika Khafifah Indra Parawansa meneriakkan kata-kata ?P-Tiga?, massa menyambut teriakan; ?hiduuup!?, ?Golkaaar!? disambut ?hiduuup!?, dan ketika diteriakkan ?PKB?, dengan penuh semangat massa pendukung PKB berpekik; ?menaaang!? Ketiga, dari isu-isu yang dilontarkan selama putaran pertama, masih dalam lingkup-lingkup idealita. Bahkan, jika tidak sekedar terjebak dalam ?menguliti? lepemimpinan Habibie, konsumsi partai lebih banya berada di lingkup tidak operasional. Memang, PAN, misalnya, sudah menawarkan ?Konsep 100 Hari Pertama Jika Menang?, namun rupanya tidak diikuti dengan detil-detil kebijakannya. Di samping itu, distribusi isu masih lebih berlingkup soal-soal politik dan pemerintahan, persis seperti tren kampanye Pemilu 1997. isu-isu gender, perempuan, dan lingkungan hidup, kecuali PAN, dan Partai MKGR, tidak banyak diminati oleh para jurkam. Juga, untuk massa yang hobi isu-isu olahraga, anda harus kecewa karena kampanye putaran pertama, ke- 48 parpol sama sekali tidak menyentuh pembangunan dunia olahraga nasional. Boleh jadi itu disebabkan, partai masih kemaruk dengan isu-isu KKN, Habibie, dan Pak Harto. Toh dengan cukup baca koran pun, seorang jurkam akan ?PD? (percaya diri) jika berhadapan di depan massa dengan bermodalkan itu. Dan, saya kira, itu yang terjadi pada minggu kemarin. Minggu depan, kita bisa lihat. ?    Nur Hidayat Sardini