Mengapa Massa PKB dan PPP Bentrok?

Rabu, 05 Mei 1999 , 18:27:15 WIB
Mengapa Massa PKB dan PPP Bentrok?
Media : SUARA MERDEKA Hari/Tanggal : Rabu, 5 Mei 1999 Setelah massa pendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bentrok di Pekalongan, insiden serupa terjadi di Jepara. Bahkan, insiden yang terjadi di Kota Ukir itu menelan korban empat jiwa melayang. Dengan kejadian itu, hipotesis yang menyatakan PKB dan PPP akan selalu berada pada kubangan konflik dan saling antagonisme di tanah Jawa ini, makin menemukan kontekstualisasinya. Padahal, sesungguhnya di antara kedua partai politik (parpol) itu, baik dilihat dari konstituensi massa atau hubungan sejarah di antara keduanya, masih melekat identifikasi politik ke-NU-an, yang semestinya bisa diselesaikan secara akhlaqul karimah, seperti yang termaktub dalam ?Sembilan Pedoman Politik? hasil Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Krapyak, 1989. Saya mencurigai, ada tiga titik krusial yang menjadi penyebab utama insiden itu, sehingga massa pendukung kedua parpol tersebut (selalu) berada pada kubangan konflik. Pertama, karena berjalannya suatu transformasi sosial politik di kalangan warga nahdliyyin yang tidak terselesaikan secara tuntas. Transformasi dalam konteks itu didefinisikan sebagai ikhtiar menuju identitas politik NU yang relatif seragam dengan basis utama pada kepartaian yang direstui PBNU. Sebagai instrumen dari transformasi tersebut, PBNU dianggap sekedar mengakomodasi keinginan figur KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di satu sisi, dan lebih banyak mengalahkan keseluruhan warga nahdliyyin di sisi lain. Terjadinya personalisasi dan institusionalisasi pada figur Gus Dur, hampir pasti menenggelamkan konfigurasi politik yang selama ini terjadi. Konfigurasi itu adalah residu-residu politik akibat Muktamar NU di Cipasung; ?Kelompok Cipete? dan sayap politiknya yang selama ini ?digusur? oleh ?Sayap Situbondo?; sayap NU yang selama ini ingin menafsirkan Khittah 1926 dengan kacamata berbeda dari yang selama ini dilakukan Gus Dur, serta politikus NU yang selama ini esta blish di PPP. Konfigurasi tersebut secara positif kemudian melembaga dalam bentuk Partai SUNI, PKU, PNU, dan sebagian politikus NU tetap berada di PPP. Belakangan bahkan keempatnya berkoalisi dalam satu barisan untuk menghadapi Pemilu 7 Juni 1999. Identitas politik yang diperlihatkan oleh keempat kelompok tersebut sudah pasti adalah ketidaksetujuannya terhadap hal-hal yang selama ini diperankan Gus Dur. Secara langsung maupun tidak, mereka sama-sama menolak politisasi PBNU ?dalam bahasa Salahudin Wahid: ?demi kepentingan politik Gus Dur?? tatkala, misalnya, koalisi dengan PDI Perjuangan. Agaknya, transformasi politik mengabaikan potensi politikus nahdliyyin yang selama ini berada di PPP. Bagi mereka, terutama yang diperankannya pada Pemilu 1997, para politikus itu merupakan pintu gerbang terakhir saat institusionalisasi kepentingan politik NU ?mengundurkan diri? dari panggung politik nasional. Padahal, secara realitas politik kekuatan mereka tidak bisa diremehkan begitu saja. Para kiai di Pekalongan, Jepara, Demak, dan kawasan pantura lain, pengaruh politiknya amat kuat. Jika kemudian diabaikan oleh jaringan hierarjis NU dari PBNU hingga ranting NU, dalam bentuk fasilitator bagi deklarasi PKB, adalah konsekuensi politik yang harus diterima karena menafikan potensi kekuatan dimaksud. Radikalisasi Massa Di tingkat lapangan, radikalisasi massa pendukung PPP itu menemukan bentuknya dalam rangka membela kepentingan para politikus PPP, yang masih juga menumpukan para kiai sebagai basis ideologi politiknya, untuk berhadap-hadapan dengan massa PKB yang juga didukung sebagian para politikus dan kiai NU yang lain. Kedua,pada saat awal proyek fasilitator jaringan hierarkis untuk deklarasi PKB gencar, secara totalitas figur-figur kiai dan ulama terjebak pada sekat-sekat politik praktis. Jika tidak diakui bahwa NU telah kehabisan seluruh stok figur ?pemimpin umat?, profil politik NU hari-hari ini adalah terjebaknya figur kiai dan ulama NU dalam arena ?gladiator? politik. Secara jelas, hal demikian terlihat, misalnya di Kodya Pekalongan. Dengan demikian, lembaga NU yang semestinya berperan sebagai ?wilayah kanopi suci? (meminjam istilah Peter L Berger) bagi warga nahdliyyin secara keseluruhan, tidak didapat. Fungsi kiai sebagai daya integratif bagi umatnya, secara perlahan dan pasti telah terreduksi oleh kecurigaan-kecurigaan politik. Karena seorang figur kiai memiliki konstituensi dan basis dukungan, maka sebagai konsekuensinya di kalangan itu terbentuk suatu irasionalisasi politik. Irasionalisasi itu adalah modal dan embrio dari mengapa bentrokan massa di antara kedua kubu dapat dijelaskan. Ketiga, didukung oleh era euforia politik belakangan ini, saya kira umat NU telah tergiring ke arah situasi yang bagi mereka amat membingungkan. Meski gejala itu bukan monopoli di NU, kini di kalangan level terbawah (grass root) NU terjadi ledakan partisipasi politik. Kondisi itu, seperti sinyalemen Gus Dur, yaitu Orde Baru telah menempatkan NU dalam struktur terpojok dari proses-proses politik negara. Jika tidak dikatakan sebagai korban politik, selama Orde Baru NU diobok-obok oleh rezim Soeharto. Selepas Orde Baru, secara leluasa warga NU dapat mengekspresikan artikulasi-artikulasi politiknya., sesuatu yang amat mahal dan diimpikan selama Orde Baru. Dalam konteks itu, perubahan sosial bereskalasi begitu cepat. Tiap perubahan itu, seperti yang saya sebut, tentu melahirkan korban-korbannya. Meminjam pengertian-pengertian dari Alvin Toffler (1970), korban ?kebingungan? (overwhelmed) menimpa kalangan terbawah NU. Sesuatu yang disebut kebingungan sosial, tentu saja menuntut terjadi guncangan sosial dan budaya (social and culture shock). Dalam batas-batas tertentu, guncangan itu konstruktif jika figur integratif hadir dengan format kanopi suci. Namun, agaknya itu tidak didapat karena figur kiai sebagai reference person mengalami disfungsionalisasi. Sehingga dapat diduga, pada saat kevakuman referensi itu terjadi, warga NU juga kehilangan pegangan demi masa depan (future shock). Secara cerdas, kondisi itu dirunut oleh Haidar Nashir (1997) sebagai gejala-gejala modular (modular man). Manusia modular adalah individu yang terkikis jati dirinya dalam memasuki masa transisi. Dalam situasi demikian, banyak orang yang mengalami disorientasi dalam kehidupan sosialnya. Hal itu kemudian melehirkan progeria (kekuatan) sekaligus destruktivitas akibat frustasi sosial karena tempo perubahan itu begitu cepat, serta datang terlampaui dini dan menekan yang disebut dengan kejutan masa depan itu. Sangat boleh jadi, wujud semua gejala itu ialah kelahiran bentuk penyakit fisik dan psikologis (patologi sosial) dibidang politik. Harus Fundamental Karena persoalannya sedemikian kompleks, cara penanganannya juga harus fundamental. Rekonsiliasi politik memang bukan satu-satunya cara yang ampuh, meski dalam jangka pendek mendesak untuk dilakukan. Dalam hal itu, memang skema menuju pemulihan sosial (social recovery) harus dilakukan. Pertama, bertemunya dua tokoh anutan di antara kedua kubu pendukung PKB dan PPP dalam satu meja dalam rangka mendinginkan suasana (cooling down). Kedua, tiap kegiatan yang melibatkan kedua kubu hendaknya didampingi para kiai dan ulama. Tentu, maksud pendampingan dan kehadiran para kiai dan ulama pendukung kedua kubu itu bukan dimaksudkan sebagai ?panglima perang? yang siap untuk saling menghancurkan, namun justru untuk mengoordinasikan ketertiban sosial. Pada saat-saat seperti itu, pemimpin kedua kubu memperlihatkan persahabatannya secara Islami (akhlaqul karimah), antara lain dengan cara bersalaman dan peluk cium. Gejala seperti di Pekalongan jangan sampai terjadi: malam ada perjanjian damai, esoknya kembali bentrok. Sebab, setelah acara gencatan senjata, para kiai pendukung seolah-olah lepas tangan. Skema penangan itu sepatutnya dilakukan terutama menjelang kampanye yang akan datang. Ketiga, dalam jangka panjang, secara intern konsistensi Khitah 1926 telah difasilitasi NU. Dalam rumusan khitah, NU akan berdiri pada posisi ?tidak ke mana-mana, tapi berada di mana-mana?. Konsistensi itu agaknya terabaikan oleh elit NU dalam paruh kedua dekade 1990-an ini. Di samping itu, muktamar NU yang rencananya baru akan diselenggarakan pada tahun 2000, hendaknya mengagendakan semacam ?khitah plus?. Pada khitah plus, diagendakan tentang format NU yang mengembalikan kondisi-kondisi sejati ketika NU lahir. Dalam situasi seperti itu, keterlibatan pemulihan hendaknya juga dapat diperankan oleh TNI dan Polri. Janga sampai justru mengaitkan persoalan itu dengan, misalnya, stigmatisasi munculnya kembali ?ekstrem kanan? dan ?ekstrem kiri?. Selain justru kontra-produktif ?karena hanya mengaburkan dari ikhtiar penuntasan? hal itu juga bakal membuka luka lama di kalangan umat Islam. ?    Nur Hidayat Sardini, Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES) Semarang dan staf pengajar FISIP Undip.