Masyarakat Madani untuk Semarang

Sabtu, 21 Agustus 1999 , 21:14:23 WIB
Masyarakat Madani untuk Semarang
Media : SUARA MERDEKA Hari/Tanggal : Sabtu, 21 Agustus 1999 Sulit terjadi ?atau bahkan sebatas mimpi, andaikan kita berobsesi ingin menggelar acara semacam debat calon wali kota? jika hari-hari ini kita masih dalam era Orde Baru. Bukan persoalan sistem politiknya saja yang memang jelas-jelas tidak memfasilitasi, atau sikap sinis-partikularistis dari sebagian masyarakat kita yang amat boleh jadi terbentuk sebagai buah karya sistematisasi serba sindroma gaya Orde Baru yang datang mendera, melainkan kerja semacam itu akan dianggap sebagai tindak subversif. Karena bukan pakem dan kontribusi terbaik bagi ikhtiar kelestarian kekuasaan. Harus dimengerti sikap dan politik Orde Baru selalu saja bertumpukan pada marginalisasi suatu societal collectivity. Di situ setiap kelompok keagamaan, kaum profesional, suku dan ras, serta segmen-segmen masyarakat lainnya, direduksi dan dieliminasi (dikebiri) dalam wujud kepentingan-kepentingan sektoral-partikularistis. Jika sudah demikian, dua implikasi perikelakuan individu dan kolektif akan terbentuk. Pertama, secara individual manusia disistematisasi untuk saling curiga. Suatu kecurigaan yang terakumulasi, sudah jelas, menggiring manusia untuk memusuhi yang lain, sehingga istilah manusia adalah serigala bagi sesama (homo homini lupus), dapat memodali tindakan berikutnya yang lebih destruktif. Jalaludin Rahmat mengistilah ini dengan ?sosok manusia berbadan monster? (chimera monstery). Kedua, jika antar individu tersebut bertemu dalam satu wadah akumulasi kepentingan kelompok, maka ?meminjam istilah La Pierre (1950), inner-cohesion-outer-hostility, yaitu perasaan kolektif berlebihan yang memandang dirinya paling benar serta kelompok di luar dirinya serba tidak benar, tak terhindarkan. Dengan demikian saling curiga dan hasrat untuk saling menghancurkan (belum omnium contra momnes), bukan tidak mungkin. Jika sudah begitu, usaha menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, terus dipupuk. Karena itu kemarakan kerusuhan sosial yang terjadi di ujung era Orde Baru belum lama ini, yang melibatkan semua segmen masyarakat saat-saat kampanye Pemilu 1999 lalu, dapat dijelaskan dari dua sudut tersebut. Relevansi Debat Di sinilah acara semacam debat calon wali kota tersebut menemukan relevansinya. Tidak saja ia adalah public spehere (dan karena itu juga komitmen publik bagi warga kota), tetapi ia juga berfungsi sebagai ketup pengaman (katarsis) sekaligus tempat bersilaturahmi antarwarga kota dari beragam kalangan. Dengan representasi budayawan, rohaniawan, usahawan, akademisi, birokrat, LSM, baik dari sembilan kandidat maupun lima panelis serta masyarakat umum, forum semacam itu konstruktif adanya. Kecuali sering bertemu dalam forum-forum kota yang tak jaranga dimanipulasi sedemikian rupa dan terjadi dalam era Orde Baru, maka perikatan kepentingan (baca: forum) semacam itu lazimnya demi memobilisasi kekuasaan politik belaka. Bagaimana kita bisa melihat forum sambung rasa, asah terampil, temu muka, lebih banyak diabdikan demi ?bunga-bunga politik? dan feodalistik sang figur pejabat daripada secara wajar dan natural dipergunakan sebagai ajang menjaring suara rakyat yang sesungguhnya. Selain itu, dilihat dari sisi substansi materi debat, ternyata begitu banyak permasalahan kota yang mendesak diagendakan. Selain rob, banjir, penanganan anak jalanan, atau mengapa kota Semarang selama ini tidak mengglobal, yang agaknya luput dan mengalahkan perhatian warga Semarang ?dan itu rupanya dirasakan oleh sebagian warga kota yang lain? adalah persoalan mengapa pintu gerbang belakang kantor Pemda Semarang selalu ditutup? Padahal bagi orang kebanyakan, persoalan ini dianggap serius. Seorang kandidat berjanji akan membukanya begitu ia terpilih menjadi wali kota Semarang. Agar para tukang becak dapat nembus ke Pekunden dan Jalan Pemuda. Masya Allah! Masyarakat Madani Tak kalah penting, berangkat dari kasus debat kandidat tersebut, sesungguhnya ?meminjam terminologi-terminologi Anwar Ibrahim (1997: 33)? terdapat nilai tambah sekaligus investasi bagi demokrasi. Pertama, misi mengadabkan (civilizing miision). Sekurang-kurangnya dalam tumplek bleg-nya warga kota di forum, saling mengenal (ta?aruf), saling memahami, dan ketegangan antarindividu dapat diminimalisasi. Anggap saja setelah pemilu, ketegangan perlu dikendurkan. Terutama berkaitan dengan urusan politik, kembalinya wajah ramah urusan publik dapat segera terjelang. Kedua, jika sejak era reformasi ini kita dianggap sebagai era misi mengadabkan bagi rakyat daerah, maka komitmen kepada demokrasi harus dimulai dengan hal-hal yang terdapat di lingkungan kita. Ciri orang beradab salah satunya ia tahu empan papan (menempatkan diri-Red). Sebaliknya, kta sebuah hadist Nabi Muhammad SAW, orang yang tidak bisa menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya bisa dibilang orang zalim. Dengan semangat itu, dari Semarang ini urusan publik tidak bisa dikelola secara elitis dan antipubluk, seperti kecenderungan selama ini. Era yang urusan pemerintah bukan urusan rakyat, salah besar. Karena itu agar disudahi dengan segera gaya sok kuasa, menganggap institusi sebagai kepentingan pribadi (institusionalisasi personal) dan urusan pribadi sebagai kepentingan kedinasan (personalisasi institusi), sehingga berimbas pada saat pejabat dikritik seolah-olah mengkritik pula urusan kantornya. Sebaliknya, entitas yang semestinya dijadikan sebagai bagian dari pelajaran masa lalu agar tidak terulang pada masa sekarang ini dan mendatang. Dengan demikian forum debat calon wali kota tempo hari memungkinkan terjadinya interaksi agar sebaiknya kota tercinta ini dikelola secara bersama-sama dengan pertimbangan serba bersama pula. Inilah pilar masyarakat beradab, prasyarat karakter masyarakat madani (civil society) yang kita dambakan itu. Ketiga, forum debat memisikan demokratisasi. Dalam demokrasi mensyaratkan adanya egalitarianisme. Sosok manusia dihargai dengan harkat dan martabatnya. Seperti pengakuan seorang kandidat, misalnya, motivasinya mengajukan diri sebagai kandidat karena ia pernah dikecewakan oleh birokrasi Pemda. Ada hasrat untuk merombak suasana yang tidak demokratis seperti itu. Demokrasi yang baik, tentu lewat jalur yang demokratis pula. Lewat debat ia mewartakan bahwa sesungguhnya ada laku-laku yang tidak demokratis yang selama ini berlangsung. Di situlah ia mengajukan keresahan hatinya dengan jalur demokrasi. Keempat, selain itu debat semacam itu akan membudayakan perbedaan pendapat. Dalam debat, karena para calon wali kota diminta untuk memberikan penilaian terhadap kota Semarang sekarang ini, mau tidak mau kritik terhadap kebijakan pembangunan yang selama ini dilakukan terungkap ke permukaan. Di antara para calon mengkritisi tentang penanganan rob, pelayanan terhadap masyarakat, penanganan anak jalanan, dan orientasi pembangunan yang lebih mengarah ke fisik. Kritik di antaranya para calon pun muncul. Sebagai misal, Ismangoen Notosapoetro yang mengkritik Hisyam Alie yang menempatkan penanganan rob sebagai program utama. Menurut Ismangoen, penanganan rob merupakan persoalan kecil atau sekedar bagian dari program besar pembangunan lingkungan. Demikian pula untuk Oerip Lestari satu-satunya kandidat perempuan, pun menempatkan program pengelolaan lingkungan sebagai prioritas. Seolah dia menyindir Soendoro yang ternyata memiliki restoran di Taman Tabanas, kawasan perbukitan Gombel kota atas yang seharusnya perlu dikonservasi. Kritik lebih pedas dan bertubi-tubi datang dari panelis dan audiens. Kritik, silang pendapat yang selama ini amat ditabukan akan menjadi sesuatu yang wajar dikemukakan dalam setiap forum debat semacam itu. Dengan demikian kritik konstruktif dan beda pendapat amat dibutuhkan sebagai bagian dari kontrol terhadap kebijakan pembangunan. Kelima, menumbuhkan peran serta masyarakat. Debat calon wali kota yang disiarkan secara langsung oleh RRI Semarang dan di tayang ulang oleh TVRI dua malam berturut-turut, agaknya telah memancing publik Semarang dan sekitarnya untuk memperbincangkan siapa yang pantas memimpin kota ATLAS ini. Hal ini merupakan langkah awal, sehingga partisipasi politik ?sebagai bagian dari aksesdalam proses pengambilan keputusan? terutama terhadap calon pemimpinnya. Jika mereka telah memahami bahwa penilaian masyarakat mampu memberikan pengaruh pada keputusan para wakil rakyat (DPRD II), maka dengan partisipasi politik itu perbincangan mereka akan diaktualisasikan melalui jalur telepolling, surat pembaca, ataupun lewat media massa lainnya. Demikianlah, boleh jadi debat calon wali kota Semarang tidak menjamin seseorang terpilih jadi seorang wali kota. Karena sistem pemilihan bukan ditentukan dari debat itu, tetapi kelak ditentukan oleh ke- 45 anggota DPRD hasil Pemilu 1999. Bahkan sangat mungkin, di antara ke- 9 peserta debat tak satu pun dapat dijamin menjadi wali kota pilihan DPRD. Namun, tidaklah proyek ini dibilang sukses atau tidak sukses ditentukan sekedar dari 45 orang semata-mata? Sedangkan tujuan kultural, pendidikan politik, serta kemauan membangun kebersamaan, adalah obsesi tertinggi bagi kita semua dalam menggelar acara-acara semacam itu. Jadi, tidak sekedar mencari siapa yang terbaik di antara 1,6 juta rakyat Semarang, tetapi mencari terbaik dalam ikhtiar mengelola kota Semarang tercinta. Moga-moga itu yang dimaksud dengan kontribusi dan investasi dari cita-cita besar bagi terwujudnya masyarakat madani di Semarang. Sudharto P Hadi dan Nur Hidayat Sardini, staf pengajar FISIP Undip, panitia penyelenggara debat calon wali kota Semarang.