Ramdansyah: Penyelenggara Pemilu Profesional

Rabu, 02 September 2009 , 16:56:56 WIB
Ramdansyah: Penyelenggara Pemilu Profesional
Oleh: RAMDANSYAH - Ketua Panwaslu DKI Politik hukum Indonesia menginginkan Pemilu semakin jujur dan adil (jurdil). Hukum responsif menempatkan pelanggaran pidana Pemilu sebagai perbuatan serius. Pidana Pemilu yang mengancam demokrasi diberikan sangsi sepadan oleh UU Pemilu (UU No. 10/2008 tentang Pemilu Pileg dan UU No. 42/2008 tentang Pilpres). Jumlah pasal pidana Pemilu yang sebelumnya 23 pasal ancaman ditingkatkan menjadi 55 pasal dengan ancaman penjara dan denda yang cukup tinggi. Idealisme Pemilu dapat berjalan jujur dan adil tentu harus bersifat operasional. Profesionalitas penyelenggara Pemilu menjadi kata kunci untuk mewujudkannya. Kata profesional disebutkan dalam UU Pemilu sebagai asas yang harus dipedomani para penyelenggara Pemilu. Untuk mewujudkan Pemilu yang semakin jurdil Sistem Pidana Pemilu menempatkan aparat penegak hukum yang cukup handal. Polisi menempatkan unit Satuan Keamanan Negara (Kamneg) untuk menangani kasus pidana Pemilu. Kejaksaan menunjuk Jaksa Khusus diseluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 Kejaksaan Negeri dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Ditingkat Kejaksaan Agung 12 orang Jaksa dipimpin Jaksa Agung Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara Pemilu ditingkat Pusat dan Luar Negeri. Mahkamah Agung menunjuk hakim khusus yakni hakim-hakim senior untuk menangani pelanggaran pidana Pemilu. Jika aparat penegak pelanggaran pidana Pemilu sudah menyiapkan sumber daya yang cukup lalu bagaimana penilaian terhadap penyelenggara Pemilu dalam arti sempit, yakni KPU dan Pengawas Pemilu (Bawaslu dan Panwaslu)? Keputusan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan hasil pilpres 2009 yang diajukan pasangan Mega Prabowo dan Jusuf Kalla Wiranto mencantumkan penilaian kualitatif tentang KPU sebagai penyelenggara. KPU dinilai lemah, imparsial, kurang kompeten dan kurang profesional. Ini menyebabkan Pemilu Presiden 2009 banyak mengandung kelemahan, kekurangan dan ketidaksempurnaan. Sialnya pengawas pemilu turut dituding punya kontribusi yang menentukan terhadap buruknya Pemilu 2009. Sebelumnya penulis ingin melakukan apresiasi terhadap penyelenggara, aparat penegak hukum, peserta pemilu baik partai politik maupun perseorangan, pasangan calon presiden wakil presiden dan rakyat Indonesia. Dari tahun ke tahun Pemilu wajah Pemilu tidak semakin beringas. Pemilu tidak meninggalkan korban jiwa maupun harta yang cukup besar. Konflik kepentingan sebagai hal yang normal dalam politik diselesaikan secara hukum. Penyelesaian dilakukan ditingkat pengadilan umum maupun pengadilan sengketa hasil pemilu. Kampanye ugal-ugalan di jalan-jalan protokol di Ibukota seperti lazimnya kita temui pada Pemilu sebelumnya ternyata tidak terjadi. Polda Metro Jaya dengan cerdas menterjemahkan Surat Keputusan KPU DKI Jakarta tentang “white area” larangan pemasangan alat peraga kampanye di jalan protokol menjadi larangan konvoi kendaraan bermotor. Ini menunjukan kesigapan dan profesionalitas Polri dalam menangani persoalan kampanye lalu lintas pada Pemilu 2009. Profesionalisme yang diterjemahkan sebagai kemauan dan kemampuan untuk selalu memperkuat kapasitas individu atau institusi dijalankan, maka kualitas Pemilu dapat terjaga. Individu atau institusi harus mempu mengimbangi perubahan dinamika hukum, sosial dan politik selalu berkembang, demikian juga kejahatan. Kualitas kejahatan dan pelanggaran pidana Pemilu tidak lagi konvesional. Masyarakat menuntut penyelenggara dan penegak hukum dalam Pemilu mampu mengatasi white collar election crime (kejahatan kerah putih Pemilu). Kemampuan menangani persoalan yang biasa-biasa saja akan sulit mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Potensi pelanggaran pidana non konvensional dapat terjadi pada Pemilu-Pemilu mendatang antara lain; Rekruitmen penyelenggara baik KPU maupun Panwaslu, ketidaknetralan penyelenggara, Daftar Pemilih Tetap, Dana Kampanye dan Money Politics. Rekruitmen pengawas Pemilu melalui pintu KPU tentunya bukan produk ideal penyelenggaraan Pemilu. UU Pemilu sendiri memberikan diskriminasi terhadap keberadaan KPU dan Pengawas Pemilu. Usia calon KPU minimal 30 tahun sementara Panwaslu 35 tahun. Syarat pendidikan minimal KPU Kabupaten/Kota adalah SMU sedangkan Panwaslu adalah Sarjana Penuh (S1). KPU di tiap tingkatan bersifat permanen (5 tahun), tetapi Panwaslu di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota hanya bersifat ad hoc. Jumlah komisioner KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota berjumlah 5 orang, tetapi Panwaslu hanya 3 orang. Kemudian yang tidak kalah penting pembentukan Panwaslu sendiri terlambat setelah proses tahapan Pemilu dimulai. Akibatnya Panwaslu tidak dapat mengawasi jalannya pemutakhiran data pemilih Pemilu legislatif yang dilakukan KPU. Keberadaan sistem rekuitmen yang buruk menyebabkan pengawasan Pemilu menjadi lemah atau sengaja dilemahkan. Contoh di DKI Jakarta pengawas pemilu harus mengeluarkan 2 dari 18 calon anggota Panwaslu Kabupaten/Kota yang sudah diseleksi administrasi dan ujian tertulis oleh KPU. Keduanya kedapatan pernah menjadi anggota partai politik dalam 5 tahun terakhir. Bahkan ketua Panwaslu Kota Jakarta Barat harus diberhentikan setelah 3 bulan masa jabatan karena laporan resmi masyarakat dapat membuktikan yang bersangkutan pernah menjadi anggota partai politik. Sebenarnya pola rekruitmen penyelenggara dan pengawas pemilu yang sepenuhnya sipil sudah tepat. Pada Orde Baru penyelenggara Pemilu sepenuhnya birokrasi bernama Lembaga Pemilihan Umum. Paska reformasi penyelenggara diserahkan sepenuhnya kepada KPU sebagai masyarakat sipil. Birokrasi dilibatkan sebatas membantu administrasi KPU. Demikian pula Bawaslu sepenuhnya diserahkan kepada sipil Pada Pemilu 2009. Unsur kepolisian dan kejaksaan tidak ditempatkan lagi sebagai bagian dari penyelenggara pemilu sesuai UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu. Pihak kepolisian sendiri dapat menarik nafas lega, karena tidak dapat dituding partisan oleh banyak pihak seperti pada pemilu 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Tahun 2007. Pada pemilu 2004 kasus video dukungan Kapolres terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden mencoreng wajah Polri. Pada pilkada DKI pihak kepolisian yang melakukan pengawasan sedikit jengah untuk membunyikan peluitnya jika ada pelanggaran dari pihak Adang Darajatun yang baru saja mundur dari jabatan terakhirnya sebagai Wakil Kepala Polri. Pada Pemilu 2009 tekanan politik incumbent terhadap Sistem Peradilan Pidana bukan isapan jempol. Profesionalisme Polri diuji dalam kasus penggelembungan DPT Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008. Polri juga “terpaksa” bersikap dalam penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu oleh Ibas putra Presiden SBY di Jawa Timur yang kemudian menggugat balik pelapor dengan pencemaran nama baik. Sayangnya netralitas institusi kepolisian hanya berhenti disana. Panwaslu sebagai pihak yang dapat menyaring persoalan politik kedalam wilayah Sistem Peradilan Pidana tidak dapat cair dengan pihak kepolisian dan kejaksaan. Kendala ego sektoral dan lemahnya kordinasi dalam Sistem Peradilan Pidana yang sebelumnya sudah terbentuk, kini melibatkan Panwaslu. Gelar perkara sebagai upaya komunikasi antar lembaga dalam penanganan pidana pemilu terjebak pada interaksi formal, ketimbang kordinasi informal dan berkesinambungan antar sesama lembaga. Akibatnya meski pelanggaran pidana pemilu konvensional dapat diselesaikan, tetapi pelanggaran pidana terkait dana kampanye, money politics atau penggelembungan suara menjadi sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan. Carut marut pemutakhiran data pemilih dapat dikategorikan berpotensi sebagai kejahatan kerah putih Pemilu. Pemilu tentunya harus menjamin tidak hilangnya hak individu. Namun potensi mengarah kepada hilangnya hak pilih individu juga harus diperhatikan penyelenggara. Dalam kasus penyerahan data kependudukan tanggal 5 April 2008 oleh Depdagri kepada penyelenggara, maka penilaian sudah harus dilakukan. Penilaian dilakukan apakah data tersebut sudah sesuai dalam arti valid, margin kesalahannya rendah dan kemudahan untuk melakukan pemutakhiran data. Penilaian ini mutlak dilakukan, karena data sampah yang masuk kedalam sistem, maka keluarannya adalah sampah juga (Gargage in Garbage Out). Kemampuan untuk menangkap kewaspadaan ini tentunya tidak terjadi begitu saja, tetapi berdasarkan kemampuan empirik dan pengetahuan akan UU. Tidak boleh ada penilaian subyektif data sampah dibenarkan sebagai data valid. Sistem demokratis manapun yang memberikan toleransi human error dalam praktek demokrasi sakral seperti Pemilu dan Pilkada sama artinya membiarkan praktek-praktek yang tidak memuaskan rakyat berjalan terus. Sesuai Pasal 33 UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, KPU Kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Mereka juga yang melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah. Titik crucial-nya ada pada tanggal 5 April 2008. KPU yang profesional tentunya harus dapat memberikan penilaian obyektif terhadap data kependudukan. Ketika baseline-nya tidak benar pemutakhiran data yang akan dilakukan menjadi tidak benar. Database yang kacau tentunya berpotensi menjadi kejahatan kerah putih Pemilu. Penyelenggara tidak bisa berdalih bahwa DPT yang kacau toh tidak dipergunakan untuk pelanggaran pemilu, karena kekacauan DPT merupakan syarat cukup untuk terjadinya pelanggaran. Ketika penyelenggara Pemilu baik KPU dan Pengawas Pemilu tidak profesional, apakah tuntutan kepada mereka adalah dibubarkan atau restrukturisasi. Hari ini kita melihat bahwa opini sebagian kecil pengamat menginginkan Bawaslu dibubarkan dan menyerahkan sepenuhnya pengawasan kepada pengamat atau pemantau swasta. Penilaian ini menurut penulis terlalu gegabah dan ahistoris. Penyelenggaraan Pemilu yang sepenuhnya sipil kepada KPU dan Bawaslu adalah sudah tepat. Bahwa masalah potensi pelanggaran kerah putih pidana Pemilu tidak dapat diantasipasi penyelenggara tentunya perlu disampaikan kritik yang membangun. Masyarakat dan pemantau sudah mengamanatkan dalam UU Pemilu agar penyelenggara profesional. Profesional tidak hanya dalam menyelesaikan masalah konvensional Pemilu, tetapi juga yang mutakhir. Ketika penyelenggara belum mampu menangani masalah non konvesional, maka yang diperlukan adalah penguatan kapasitas kelembagaan diwilayah tersebut. Kalau penyelenggaraan pemilu diserahkan kepada birokrasi dan pengawasan kepada Polisi dan Jaksa sepenuhnya, maka peluang terjadinya ketidaknetralan penyelenggara Pemilu semakin besar. Upaya membangun Pemilu agar semakin jujur dan adil seperti yang diamanatkan UU Pemilu tentunya akan semakin jauh dari harapan jika opsi ini diwujudkan.