Sosialisasi Persiapan Pengawasan Pilkada 2010

Senin, 05 Oktober 2009 , 21:27:43 WIB
Sosialisasi Persiapan Pengawasan Pilkada 2010

 

konpers-051009

Bawaslu-Jakarta, Pada 2010 nanti, akan digelar 246 Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. Dengan rincian, 7 pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, 203 pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta 35 pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.

Atas dasar itulah, Bawaslu merasa perlu mensosialisasikan pentingnya pengawasan Pemilu Kepala Daerah di Indonesia agar kualitas Pilkada tetap bisa dijaga sesuai dengan prinsip Pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur serta adil atau luber jurdil.

Ada sejumlah isu penting yang perlu menjadi perhatian bersama terkait pelaksanaan Pilkada pada 2010 nanti yaitu: 1. Kepastian pembentukan Panwaslu Pilkada 2. Regulasi yang terkait dengan pengawasan Pilkada 3. Pengawasan tahapan Pilkada 4. Penegakan hukum Pilkada

Terkait dengan kepastian pembentukan Panwaslu Pilkada, Bawaslu pernah mengusulkan agar perekrutan Panwas Pilkada ditiadakan. Panwas Pilkada nantinya akan diambil kembali dari Panwas Pileg dan Pilpres 2009 yang lalu asalkan masih memenuhi syarat.

Dengan demikian, maka Panwaslu yang sudah ada tidak perlu diganti, melainkan diperpanjang masa kerjanya. Alasannya, apabila ditinjau dari sisi waktu, biaya dan tenaga mengakibatkan pengeluaran yang sangat besar.

Untuk kepentingan tersebut, Badan Pengawas Pemilu terus mengupayakan adanya payung hukum agar dapat menetapkan panitia pengawas pemilu presiden dan wakil presiden 2009 menjadi pengawas pemilu kepala daerah melalui surat kesepakatan bersama (SKB) antara Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum.

Usulan ini diajukan atas dasar keterdesakan waktu yang ada. Sebab, jika pembentukan pengawas pemilu kepala daerah dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, maka dibutuhkan waktu yang lama karena harus melewati mekanisme perekrutan serta uji kepatutan dan kelayakan.

Selain itu, dalam UU tersebut diatur bahwa proses seleksi panwas menjadi enam besar dilakukan oleh tim seleksi yang dibentuk KPU. Padahal, Bawaslu menginginkan agar proses perekrutan dan seleksi pengawas di daerah dilakukan oleh Bawaslu.

Bawaslu menekankan pentingnya kepastian hukum ini agar Panwaslu Pilkada tidak terlambat terbentuk. Jika Panwaslu terlambat dibentuk, maka bisa dipastikan tidak semua tahapan pelaksanaan Pilkada bisa diawasi secara maksimal. Kondisi ini dikhawatirkan akan mengurangi kualitas pengawasan Pilkada di tanah air.

Terkait dengan regulasi pengawasan Pilkada, Bawaslu telah menyusun regulasi pengawasan Pilkada yang bisa dijadikan acuan bagi semua Panwaslu dalam menjalankan tugasnya. Regulasi ini mengatur mekanisme pengawasan di semua tahapan Pilkada.

Sementara itu mengenai penegakan hukum dalam Pilkada, setidaknya ada 4 isu penting yang harus diperhatikan, yaitu:

Pemalsuan/penggunaan dokumen tidak sah.

Sejumlah persyaratan calon kepala daerah telah diatur pada Pasal 58 UU 32/2004, antara lain pendidikan sekurangnya SLTA atau sederajat serta sehat jasmani dan rohani. Pengalaman pada pemilu legislatif lalu menunjukkan betapa banyak partai tetap mengajukan calon-calonnya yang bermasalah (membeli surat keterangan pendidikan, memalsu ijasah, ijasah dari sekolah fiktif, dan sebagainya). Tidak mustahil jika kasus-kasus ini berulang lagi di pilkada, terutama jika penyelenggara dan pengawas pilkadanya teledor atau terbujuk permainan.

Potensi penyimpangan birokrasi dan penyalahgunaan kewenangan.

Penyimpangan birokrasi dan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi selama pemilu legislatif dan pilpres yang lalu, dalam kenyataannya, menjadi masalah yang sukar ditangani hingga tuntas. Ini disebabkan problem peraturan maupun faktor sosio-politik yang ada. Potensi penyimpangan ini tampaknya akan kian membesar.

Hal ini wajar saja sebab yang ikut bermain kepentingan akan lebih banyak dan lebih serius. Penyimpangan yang perlu diwaspadai khususnya dalam tiga pola, yaitu dengan mempengaruhi penyelenggara pilkada, dengan mobilisasi aparat birokrasi (termasuk kepala desa), atau dengan lahirnya kebijakan yang menguntungkan calon tertentu.

Potensi penyimpangan money politics dan dana kampanye.

Aturan dana kampanye yang ''praktis'' mengcopy dari UU 12/2003 dan 23/2003 tampaknya akan tidak berarti banyak menjerat praktik penyimpangan dana kampanye. Banyaknya donator fiktif dan penyumbang tak masuk akal juga bakal terjadi.

Penulis ingat ucapan seorang akuntan: aturan dana kampanye tidak bakal menjerat pelaku, paling mengajari menulis pembukuan lebih rapi. Sementara soal money politics (dalam arti political bribery), juga ada potensi peningkatan.

Aturan hukum yang ada memang sulit untuk digunakan menjerat pelaku penyuapan politik untuk memilih calon kepala daerah.

Kampanye terselubung atau curi start kampanye.

Di antara masalah yang paling ''ngetop'' selama pemilu lalu adalah ''curi start kampanye'' atau kampanye terselubung. Masalah ini sebenarnya dipicu adanya jarak waktu antara penetapan peserta pemilu dan masa kampanye.

Pengalaman menunjukkan betapa sangat banyak energi kita terkuras ''hanya'' untuk menjerat pelaku ''curi start'' kampanye. Sampai-sampai setiap aktivitas parpol oleh masyarakat dilaporkan kepada panwas agar ditindak. Sementara itu perbedaan penafsiran tentang apa itu ''kampanye di luar jadwal'' justru membuat kian kaburnya persoalan.

 

Humas Bawaslu