Bawaslu Ajukan Judicial Reveiw UU 22/2007

Rabu, 24 Februari 2010 , 13:16:03 WIB
Bawaslu Ajukan Judicial Reveiw UU 22/2007
Tanggal : 24 Februari 2010

Jakarta-Bawaslu, Badan Pengawas Pemilu mengajukan uji materi (judicial review) atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Ada dua hal yang dimohonkan oleh Bawaslu untuk di uji materi. Pertama, terkait pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan umum yang harus diusulkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Kedua, terkait pembentukan Dewan Kehormatan yang komposisi anggota Dewan Kehormatan didominasi dari anggota KPU. Permohonan uji materil itu atas Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan (2), Pasal 95 dan Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) Undang-undang 22 Tahun 2007.

Dalam permohonan uji materiil ini, dari kantor Hukum Bambang Widjojanto, Iskandar Sonhadji, Diana Fauziah dan Ahmad Ghazali. Uji materi diajukan ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Rabu (24/2). Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Bawaslu, Nur Hidayat Sardini, Anggota Bawaslu Wahidah Suaib, Bambang Eka Cahya Widodo, Wirdyaningsih dan SF Agustiani Tio Fridelina Sitorus.

Pertimbangan Bawaslu untuk mengajukan judicial review itu yakni :

1. Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan (2), Pasal 95 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dapat dikualifikasi dan telah nyata-nyata atau setidaknya sangat potensial dikualifikasi melanggar asas lembaga pengawasan penyelenggaraan Pemilu yang mandiri serta hak atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 22E ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. a. Fungsi dan tugas pokok Bawaslu beserta jajarannya tidak dapat dijalankan secara optimal karena tidak mandiri dan tidak sepenuhnya tetap. Tidak mandiri karena proses rekrutmen jajaran pengawas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak dapat dijalankan sendiri sepenuh-penuhnya oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum dan tidak tetap karena hanya Badan Pengawas Pemilihan Umum saja yang bersifat tetap tetapi pengawas lainnya belum bersifat tetap padahal fungsi pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahap penyelenggaran Pemilu. b. Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan yang penuh untuk menyelenggarakan dan memilih calon-calon anggota panitia pengawas karena para calon dimaksud telah lebih dulu diseleksi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Keadaan sedemikian potensial melanggar asas mandiri yang menjadi salah satu prinsip penting dari badan dan/atau panitia pengawasan Pemilu, selain melanggar asas akuntabilitas dan profesionalitas. c. Kecenderungan untuk bertindak parsial dalam proses rekrutmen Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota merupakan ancaman dan serangan serius terhadap asas penyelenggaraan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis. d. Ada indikasi kuat, dalam melakukan penjaringan calon Anggota Panwaslu, KPU dengan secara sistematis dan sengaja memilih calon-calon yang berpihak pada kepentingannya sendiri bukan pada kehendak kuat untuk dapat melaksanakan pengawasan secara transparan dan akuntabel. e. Keadaan di atas juga memberikan kontribusi pada sikap “defensif” KPU dan jajarannya pada fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu beserta aparat pengawasannya. Salah satu sikap dimaksud berkaitan dengan potensi politisasi proses rekrutmen atas anggota Panitia Pengawas pada pemilihan umum kepala pemerintahan daerah. f. Akibat lebih lanjutnya, kualitas penyelenggaraan Pemilu dapat dicederai atau menjadi bermasalah. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan anggota panitia pengawas yang memiliki pengetahuan dan integritas yang baik karena KPU dan jajarannya mempunyai intensi kuat untuk menyediakan calon yang berpihak pada kepentingannya sendiri. Pada titik inilah, pengawasan menjadi bermasalah karena potensial terjadi politisasi rekrutmen dimana rekrutmen dilakukan dengan mengabaikan check and balances system serta melanggar beberapa asas penyelenggara Pemilu.

2. Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum telah nyata-nyata atau setidak-tidaknya sangat potensial menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang sama di muka hukum serta dapat dikualifikasi sebagai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. a. Komposisi Dewan Kehormatan KPU dan KPU Provinsi yang mayoritasnya dikuasai oleh anggota KPU dan/atau anggota KPU Provinsi. Pada keadaan sedemikian maka kemandirian, akuntabilitas dan profesional itu sangat sulit untuk ditegakkan atau setidaknya mempunyai potensi untuk tidak dapat ditegakkan secara obyektif.

b. Selain itu, komposisi lembaga penyelenggara Dewan Kehormatan KPU juga berbeda dengan komposisi Dewan Kehormatan Bawaslu dimana anggota Bawaslu tidak menjadi mayoritas anggota dan/atau jumlah anggota yang menjadi anggota Dewan Kehormatan adalah mayoritas sehingga agak sulit diharapkan proses di Dewan Kehormatan dapat dilakukan secara akuntabel. c. Sehingga, pemeriksaan dan pertanggungjawaban sebuah kesalahan yang diduga dilakukan lembaga penyelenggara Pemilu akan sangat sulit dilakukan secara obyektif dan independen bilamana Dewan Kehormatan dimaksud diisi oleh sebagian besar orang dari lembaga penyelenggara Pemilu itu sendiri karena sangat mungkin ada kepentingan perlindungan korps yang sangat kuat. d. Banyaknya penerusan rekomendasi kode etik Penyelenggara Pemilu oleh Panwaslu dan Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU berkaitan erat dengan norma penyusunan komposisi anggota Dewan Kehormatan KPU dan KPU Provinsi yang secara normatif dirumuskan dengan adanya dominasi dari anggota KPU (vide Pasal 111 ayat (3) dan pasal 112 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007). e. Hal ini berdampak pada tidak adanya kepastian hukum yang adil bagi pengawas Pemilu yang bertugas mengawal proses penyelenggaraan Pemilu, dan bagi masyarakat pemilih Indonesia yang berhak atas penyelenggaraan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan demokratis yang diselenggarakan oleh penyelenggara Pemilu yang berintegritas, kredibel, akuntabel, dan profesional (vide Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007). f. Lebih dari itu, akhirnya penegakan hukum terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu menjadi sesuatu yang tidak pasti baik dari aspek penanganan maupun aspek keadilan. Padahal Pasal 28D UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Hal-hal Yang Dimohonkan : 1. Karena itu, Bawaslu berharap agar Mahkamah Konstitusi menerima permohonan pemohon seluruhnya. 2. Menyatakan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan (2), Pasal 95 serta Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. 3. Menyatakan Pasal Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan (2), Pasal 95 serta Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum tidak mempunyai kekuatan mengikat dengan segala akibat hukumnya. Atau 1. Menerima Permohonan Pemohon untuk seluruhnya, menyatakan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan (2), Pasal 95 tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 sepanjang calon anggota Panwaslu diusulkan dan dipilih sendiri oleh Bawaslu. 2. Menyatakan Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 sepanjang jumlah komposisi Dewan Kehormatan KPU dan KPU Provinsi tidak mayoritas atau setidaknya jumlah dan komposisinya seperti yang dirumuskan dalam Dewan Kehormatan Badan Pengawas Pemilihan Umum. 3. Menyatakan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan (2), Pasal 95 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mempunyai kekuatan mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang calon anggota Panwaslu diusulkan dan dipilih sendiri oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum. 4. Menyatakan Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mempunyai kekuatan mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang jumlah komposisi dan Dewan Kehormatan KPU dan KPU Provinsi tidak mayoritas atau setidaknya jumlah dan komposisinya seperti yang dirumuskan dalam Dewan Kehormatan Badan Pengawas Pemilihan Umum.

Humas Bawaslu Untuk mengupdate berita terkini mengenai Bawaslu, silahkan klik : http://www.bawaslu.go.id