Analisis : Usai Hajatan Demokrasi

Minggu, 11 Agustus 2002 , 18:11:17 WIB
Analisis : Usai Hajatan Demokrasi
Media: Suara Merdeka Hari/Tgl: Minggu, 11 agustus 2002 INI mungkin demokrasi ala Indonesia. Tidak sedikit keputusan dalam ST MPR 2002 ini diambil secara antipublik. Pertama, dominannya praktik lobi sebagaiproses pengambilan keputusan. Lobi ini melibatkan elite komisi, elite fraksi, elite partai, bahkan sampai melibatkan pucuk eksekutif segala. Kedua, menguatnya kekhawatiran terhadap mekanisme pemungutan suara (voting), di balik selubung asas musyawarah mufakat. Maka, terasa sekali bahwa ST MPR kali ini terasa elitis, karena mengeliminasi keterlibatan seluruh anggota. Dengan demikian, yang terjadi sebenarnya bukan musyawarah mufakat melainkan mufakat untuk musyawarah. Ada nilai positifnya, persidangan menjadi lancar, sesuai dengan skenario para elite politik. Hantu deadlock- pun bisa dihalau sejauh mungkin. Juga, yang lebih penting lagi, tidak ada yang merasa dikalahkan. Atau, dalam bahasa Jacob Tobing, tidak ada yang merasa tergores hatinya, jika aspirasinya tak tertampung dalam teks konstitusi hasil amandemen. Ini baiknya, khas Indonesia. Namun, ada negatifnya. Pertama, membuka peluang terjadinya pseudo-manipulation. Artinya, mematikan akuntabilitas di depan publik. Konstituen tidak bisa mengetahui siapa-siapa yang secara konsisten memperjuangkan aspirasinya. Metode mufakat-musyawarah bisa menghalangi akses dan keterlibatan publik. Ini penting, soalnya dalam setiap kampanye Pemilu 1999, para elite partai berjanji untuk memperjuangkan aspirasi politiknya. Kedua, bagi kepentingan publik juga, bursa gagasan politik sebagai cerminandari kampanye politik, tak tertampakkan secara jelas. Apalagi peliputan media massa dalam ST MPR kali tak masuk sampai ke seluruhkomisi-komisi Majelis. Setiap komisi, baik Komisi A, B, maupun C, juga masih terbagi dalam subkomisi-subkomisi. Ketiga, dalam setiap forum seperti ST MPR ini, ekspos media massa yang luasbakal menghadirkan entertainment bagi para politikus. Artinya, publik menjadi juri yang adil terhadap kapasitas tiap-tiap politikus. Forum ini menjadi kampanye positif bagi siapa pun politikus muda yang berbakat, berintegritas. Dalam jangka yang lebih jauh, ini menyangkut siapa calon-calon pemimpinbangsa pada masa depan. Dengan ekspos yang kurang, kampanye seperti itu hanya diketahui oleh elite partai, elite fraksi, dan segelintir orang, yang kebetulan saja memiliki akses ke media massa. Beban Berat Selain itu, dampak lainnnya, produk ST MPR berkesan antipublik. Tentu tidaksemua yang telah diputuskan oleh ST MPR bisa digolongkan ke sana. Namun, sekadar catatan, Tap MPR perihal Komisi Konstitusi jelas menghasilkan produkelitis berikutnya. Ini yang kemudian membuat gusar kalangan penggiat demokrasi, terutama Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB), sehingga secara demonstratif Bambang Widjojanto menyobek-nyobek konsep Komisi Konstitusi versi MPR, sehari sebelum ST MPR ditutup. Di pundak MPR, terletak beban berat untuk memikul reformasi. Sementara itu,sebagian besar masyarakat, terutama kalangan muda, menginginkan reformasi konstitusi. Di bagian lain, kalangan tua, masih ingin bertahan dengan keyakinannya: menolak amandemen. Padahal, di antara yang progresif dan konservatif tersebut terdapat varian-varian ikutannya. Beragam varian tersebut ternyata berbasis ideologis, kepentingan politik, serta aliran-aliran politik; di samping mengusung pula kepentingan politik sesaat lainnya. Dukungan, penolakan, dalam bentuk petisi, nota keberatan, serta demonstrasiselama ST MPR, adalah contoh-contoh keragaman dan varian tersebut. LSM ST MPR telah usai. Semua rancangan telah diputuskan. Bagaimana dampak dan implikasinya bagi perjalanan bangsa ini? Secara ideologis, keikhlasan penguat ideologi Islam telah ditunjukkan, terutama F-PPP, F-PBB, dan F-PDU, dengan menerima kembali Pasal 29 Ayat (1) UUD1945. Namun bagi mereka, apa yang dilakukannya sekadar strategi perjuanganyang belum berhasil. Mereka berjanji, suatu waktu, memperjuangkan formalisasi Islam dengan pintu masuk bunyi pasal sesuai dengan teks asli Piagam Jakarta. Untuk yang seprinsip itu, mereka mau melepaskan usulannya. Secara politis, catatan penting setelah ST MPR kali ini adalah kian dominannya aktor politik resmi. Basis mereka adalah partai politik. Padahal kita mengerti bahwa keberadaan partai politik di Indonesia masih diidentikkan dengan figur-figur karismatik. Tak bisa dibantah, aktor politik resmi masih didominasi Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, Yusril Ihza Mahendra, dan lainnya. Mungkin figur lain bakal muncul, tetapi tak lebih tokoh seperti Zainudin MZ atau Susilo Bambang Yudhoyono. Selebihnya adalah lapis politikus generasi baru, yang pada ST MPR kali ini sebagian telah mengemuka, tetapi mayoritas masih di bawah karpet. Menguatnya aktor resmi, hanya mungkin ditandingi oleh aktor-aktor politik di luar negara (non-state actors). Mereka adalah kalangan penggiat ornop. Dalam Pemilu 1999 lalu, kelompok ini mendukung setiap proses politik. Terutama perannya dalam menguatkan kekuatan masyarakat madani. Tetapi belakangan, kelompok ini kecewa berat terhadap kelompok pertama. Aksi demonstratif yangditunjukkan Bambang Widjojanto dari Koalisi untuk Konstitusi Baru sehari sebelum penutupan ST MPR 2002, kiranya menjadi indikator betapa kalangan LSMbakal mengambil sikap berhadapan dengan kekuatan politik resmi itu. Dalam waktu dekat, setelah gagal mengegolkan masalah Komisi Konstitusi dalam ST MPR ini, mereka hendak menyusun konstruksi konstitusi baru. Tentu dengan versi mereka, yang sering digambarkannya paling ideal, nonpartisan, independen, dan terdiri atas muatan-muatan yang mengapresiasikan sensitif gender, apresiatif hak asasi, dan demoktratis. Jangan anggap remeh kekuatan LSM. Berkat langkah-langkahnya, Pemilu 1999 lalu sukses besar. Pada pemilu mendatang, agaknya mereka ingin berada di sebaliknya. Mereka akan mendampingi ketidakpuasan rakyat, terutama rezim kini yang di mata rakyat tak lagi efektif memperjuangkan kepentingannya. (29k) - Nur Hidayat Sardini, peneliti Puskodak FISIP-Undip dan peninjau ST MPR 2002