Sistem Pemilu Memang Salah sejak Awal, pengawasan Panwaslu Kada Bisa dikatakan Suram

Jum'at, 12 Maret 2010 , 13:36:16 WIB
Sistem Pemilu Memang Salah sejak Awal, pengawasan Panwaslu Kada Bisa dikatakan Suram
Media: Kompas Tanggal: Jumat, 12 Maret 2010

Jakarta, Kompas - Pengaturan Panitia Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum secara struktural bermasalah sejak awal. Hal ini setidaknya terlihat pada proses pembentukan Panwas Pemilu yang melibatkan instansi yang akan diawasi, yakni atas usulan KPU daerah. Pengawasan pun dipastikan tidak berjalan efektif. Pengawasan yang tak efektif berpengaruh pada integritas penyelenggaraan pemilu yang akhirnya berdampak pada tidak tercapainya cita- cita pemilu yang demokratis.

Hal itu diungkapkan Hadar N Gumay dari Centre for Electoral Reform (Cetro) sebagai ahli yang diajukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (11/3). Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra dan ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin mengutarakan hal yang senada.

Sidang dipimpin Ketua MK Mahfud MD. Hadir perwakilan pemerintah dan KPU, antara lain Andi Nurpati, Syamsulbahri, dan Endang Sulastri. Menurut Hadar, pengawasan yang efektif harus dilakukan lembaga mandiri, seperti Bawaslu dan jajarannya. Namun, menjadi persoalan ketika pembentukan lembaga pengawas itu dilakukan oleh pihak yang menjadi subyek pengawasan. Model ini menjadikan pengawasan tidak efektif.

Hadar membandingkan dengan model pengawasan di Thailand atau Filipina. Badan pengawasnya memiliki kewenangan lebih besar. Pengawas pemilu di Thailand, misalnya, mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi. Pengawas di Filipina menjadi bagian dari penegakan hukum. Namun, keduanya bermasalah sebab tidak mampu mengawasi dirinya sendiri. ”Di Indonesia, kita sepakat pengawasan eksternal. Agar efektif, Badan Pengawas perlu sejajar, duduk sama tinggi, sehingga fungsinya akan berjalan dan sistem checks and balances pun berjalan,” ujarnya.

Irman menambahkan, politik hukum yang terbangun saat ini menganggap instrumen pengawas sebagai kebutuhan sekunder. Padahal, jika kita sepakat untuk mengontrol pemilu, seharusnya instrumen pengawas harus pula dianggap sebagai kebutuhan primer.

”Mungkin takut jika pengawas kuat, pihak yang berkepentingan dengan proses pemilu akan tidak nyaman. Padahal, dalam pemilu harus ada kontrol,” lanjutnya. Terkait dengan hal itu, ia menilai, problem yang terjadi saat ini antara KPU dan Bawaslu tak semata-mata karena persoalan personal KPU atau Bawaslu, melainkan juga perkara sistem.

Dalam permohonannya, Bawaslu juga mempersoalkan komposisi Dewan Kehormatan KPU yang terdiri dari lima orang (tiga unsur KPU dan dua dari luar). Bagi Saldi, jumlah anggota KPU yang mayoritas membuat tingginya konflik kepentingan dan berpotensi buntu (deadlock). Irman menganggap, tidak perlu ada Dewan Kehormatan KPU. Fungsi itu semestinya sudah melekat pada Bawaslu.

Pengawasan terganggu

Secara terpisah, masalah pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah (Panwas Pilkada) berimbas pada kegiatan pengawasan terhadap tahapan pilkada. Keberadaan Panwas Pilkada yang dilantik Bawaslu belum diakui KPU di daerah.

Ketua Panwas Pilkada Jambi Salahuddin, Kamis, menuturkan, hingga kini belum ada titik temu antara Panwas dan KPU Jambi meski sudah difasilitasi Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin. Meski begitu, ujarnya, Panwas Jambi tetap bekerja mengawasi tahapan pilkada, terutama untuk pemutakhiran data pemilih. Apalagi, fasilitas dan administrasi operasional Panwas Pilkada tidak ada masalah.

Namun, hingga kini, kabupaten/kota di Jambi yang akan menggelar pilkada belum mempunyai Panwas Pilkada semuanya. ”Kami akan memakai Pasal 123 UU No 22/2007. Panwas mempunyai kewenangan pengawasan di tingkat kabupaten. Kami akan bekerja sama dengan berbagai pihak,” kata Salahuddin.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw mengakui, sejak awal bisa diprediksi akan terjadi kisruh pembentukan Panwas sampai dengan perebutan kantor dan fasilitas negara. ”Kalau sudah begini situasinya, pengawasan pilkada bisa dikatakan suram,” katanya.(sie/ana)