Teringat pada Kasus Dongos

Kamis, 15 Mei 2008 , 09:03:25 WIB
Teringat pada Kasus Dongos
Pemilu 2004 Sarat Konflik TANGGAL 30 April 1999, kurang dari dua bulan menjelang Pemilu 1999, menjadi lembaran hitam bagi sejarah politik di Jawa Tengah khususnya dan di Indonesia umumnya. Waktu itu, Jumat sore, empat orang tewas dan puluhan orang luka dalam bentrokan berdarah antara massa Partai Kebangkitan Bangsa dan massa Partai Persatuan Pembangunan di Desa Dongos, Kecamatan Kedung, sekitar 16 kilometer sebelah selatan Jepara. ORANG banyak bersenjatakan pedang, celurit, parang, katapel, dan batu itu secara brutal membakar 15 mobil, 6 sepeda motor, dan 2 rumah warga setempat. Padahal, bentrokan itu hanya disebabkan oleh masalah sepele: massa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang semula berniat mengaji mendadak mendeklarasikan partai ranting Desa Dongos. Massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sebelumnya mengklaim Desa Dongos dan sekitarnya sebagai basis mereka marah besar dan menyerang massa PKB (Kompas, 2/5/1999). Kasus Dongos hanyalah satu dari 195 kasus pelanggaran, termasuk konflik, dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 di Jawa Tengah (Jateng). Sebelumnya di Kabupaten Demak terjadi bentrokan antara massa PKB dan massa PPP yang melukai tiga orang dan menghilangkan beberapa orang. Perseteruan massa PKB dan massa PPP juga terjadi di Kabupaten Pekalongan dan di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Adapun di Kabupaten Purbalingga, massa Partai Golkar dan massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berkelahi. Dari 195 kasus tersebut, 25 merupakan pelanggaran administratif, 94 adalah pelanggaran tata cara penahapan pemilu, lima kasus politik uang, dan delapan kasus menyangkut ketidaknetralan birokrasi dan pejabat pemerintah yang semuanya bisa diselesaikan. Kasus lain yang meliputi 63 pelanggaran pidana pemilu: 33 dapat diselesaikan, 20 kasus ditangani kepolisian, dan 10 kasus sampai ke tingkat pengadilan. Pelanggaran atau konflik pada Pemilu 1999 di Jateng itu, menurut Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) Jateng Nur Hidayat Sardini, tidak berdiri sendiri. Namun, itu terkait dengan urusan agama seperti yang terjadi di Kabupaten Pekalongan dan Jepara. Selain itu, konflik bersumber pada perbedaan kelompok etnis, kelas sosial, afiliasi politik, dan perbedaan wilayah komunal. ?PADA Pemilu 2004 nanti kami tidak ingin jadi petugas pemadam kebakaran yang datang ke lokasi ketika kebakaran itu sudah terjadi. Kami berusaha mengantisipasinya,? kata Nur Hidayat. ?Dengan sistem pemilu yang baru ini, kami prediksikan Pemilu 2004 akan syarat konflik. Kami perkirakan ada 40 titik rawan pemilu di Jateng ini.? Daerah-daerah konflik pada Pemilu 1999, menurut Nur Hidayat, bukan tidak mungkin akan terulang lagi pada Pemilu 2004. Bahkan, di daerah-daerah tertentu di Jateng terdapat siklus lima tahunan konflik, katakanlah Kabupaten Pekalongan, merujuk pada sejarah pemilu sejak Orde Baru. Selain itu, menurut Nur Hidayat, daerah-daerah simpul lintas provinsi juga berpotensi konflik. Panwas Jateng mencatat setidaknya lebih dari 30 kecamatan di daerah perbatasan Provinsi Jateng-Jabar, Jateng-Jatim, dan Jateng-Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada Pemilu 1999 rawan pelanggaran, terutama pada tahap kampanye. Kecamatan-kecamatan tersebut terdapat di 11 kabupaten: Rembang, Blora, Grobogan, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, Magelang, Purworejo, Cilacap, dan Brebes. Panwas Jateng tampaknya harus menggandeng Panwas Jabar, Jatim, dan DIY untuk menghindari konflik di perbatasan itu. Kegiatan yang dapat dilakukan panwas ketiga provinsi itu adalah menyusun peta rawan konflik setelah identifikasi, merumuskan strategi penanganan daerah rawan konflik, koordinasi dengan kepolisian, hingga pelatihan menangani pelanggaran pemilu dan penyelesaian persengketaan lintas provinsi. Kegiatan ini sudah dimulai sejak November ini sampai dua bulan sebelum kampanye. Selain konflik pemilu di daerah perbatasan, Panwas Jateng juga memperkirakan sebaran konflik baru, yakni konflik di lintas kabupaten/kota yang berada dalam satu daerah pemilihan sebagai implikasi pembagian daerah pemilihan yang tidak memperhatikan dimensi budaya. Wilayah Jateng terbagi atas 35 kabupaten/kota yang oleh Komisi Pemilihan Umum dibagi ke dalam 10 daerah pemilihan. Rata-rata satu daerah pemilihan (DP) terdiri atas tiga kabupaten/kota. Nur Hidayat mencontohkan potensi konflik di ?DP Jateng-6? yang terdiri atas Kabupaten dan Kota Magelang, Kabupaten Purworejo, Wonosobo, dan Temanggung. Masing-masing punya karakter budaya berbeda, tetapi ?dipaksa? bersatu dalam satu daerah pemilihan. Dalam pandangan Nur Hidayat, Kabupaten dan Kota Magelang, Wonosobo, dan Temanggung nisbiah bisa bersatu karena sama-sama ?daerah hijau?. ?Yang menjadi persoalan adalah Kabupaten Purworejo yang merupakan daerah abangan,? katanya. ?Purworejo yang karena karakter budaya agamanya berbeda dengan keempat daerah itu (Kabupaten dan Kota Magelang, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Temanggung-Red) berpotensi konflik, terutama bila tokoh yang terpilih tidak seide dengan karakter keempat daerah tersebut.? Demikian pula sebaliknya. Jika wakil yang terpilih tak segaris dengan keyakinan masyarakat Purworejo, mereka akan merasa tersisihkan. Itulah yang terjadi pada Pemilu 1999. ?Konflik di lintas kabupaten dalam satu daerah pemilihan ini terkait dengan pola kampanye peserta pemilu. Akan memicu konflik ketika tidak ada jadwal kampanye yang seragam di satu daerah pemilihan,? katanya. Selain daerah perbatasan, pemicu konflik lain adalah konflik internal partai politik, tempat terbuka saat kampanye, dan penghitungan suara. Satu langkah awal mengantisipasi konflik pemilu, menurut Nur Hidayat, telah dilakukan Panwas Jateng dengan mengumpulkan pengurus partai politik (parpol) yang ada di Jateng. Tanggal 25 Oktober 2003, disaksikan Gubernur Jateng Mardiyanto, para pengurus parpol berkumpul di Lapangan Simpang Lima, Semarang, mendeklarasikan seruan moral untuk menciptakan kerukunan. Seruan moral ini ditindaklanjuti dengan pemasangan bendera parpol di Lapangan Simpang Lima. ?Sebagian besar masyarakat Jateng masih paternalistik,? kata Nur Hidayat. ?Kerukunan di bawah bisa tercipta jika rukun di tingkat pemimpin.?